Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa sidang 2021-2022 yang digelar di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/1). RUU TPKS diharapkan dapat menjadi payung hukum dalam memberantas kekerasan seksual dan melindungi korban serta penyintas.
Namun, usai disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI, RUU TPKS belum ada lagi kabarnya. Perkembangan terakhir, menurut informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR pekan lalu.
Pemerintah beberapa kali mengundang masyarakat sipil untuk konsultasi publik, namun DIM tidak pernah diberikan ataupun ditunjukkan sebagai materi pembahasan untuk didiskusikan bersama. Masyarakat sipil mempertanyakan sikap pemerintah yang tertutup ini.
Merespon hal tersebut, Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual meminta agar pembahasan RUU TPKS dapat melibatkan masyarakat sipil. Hal tersebut disampaikan melalui konferensi pers bertajuk "Apa Kabar RUU TPKS?" yang diadakan pada Kamis (17/2) secara virtual.
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Salah satunya berbentuk aspirasi masyarakat dalam penyusunan RUU TPKS.
"Ketika RUU TPKS sedang dibahas dan kita diminta didengarkan pandangan-pandangan kita, tentu kita ingin memastikan materi-materi mana atau masukan kami yang diintegrasikan dan mana yang tidak dapat diintegrasikan, lalu apa argumentasinya," ungkap Dr Ninik Rahayu, SH, MA, Direktur JalaStoria.id pada konferensi pers, Kamis (17/2).
Ninik juga memaparkan bahwa pihaknya telah mendapatkan informasi bahwa masukan-masukan dari masyarakat sipil setidaknya sekitar 93 persen sudah diakomodasi pemerintah. Namun sayangnya, ketika kabar DIM telah diserahkan pemerintah ke DPR RI pada 11 Februari 2022 lalu, mereka belum mendapatkan gambaran DIM dan masukan mana saja yang diakomodasi dan mana yang tidak.
"Kami berharap bahwa ada konsultasi seterbuka dan separtisipasif mungkin. Misalnya DIM yang sekarang sudah diserahkan pemerintah ke DPR RI, mohon kami masyarakat sipil diberi draftnya supaya kami bisa melihat sampai mana kebutuhan yang diintegrasikan di dalam RUU TPKS ini dalam perspektif masyarakat sipil," ujarnya.
"Kebutuhan kita tidak hanya sekadar disahkan RUU TPKS, tetapi apakah substansinya sudah mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat yang menjadi korban," tambahnya.
Di kesempatan yang sama, Pakar Hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, S.H,LL.M, juga mengungkapkan pendapat yang senada. Menurutnya, penting untuk memiliki RUU TPKS yang bisa diimplementasikan dan mencapai tujuannya.
"Buat kita semua tujuan akhirnya bukan punya RUU TPKS apapun bentuknya dan bagaimana isinya, tapi punya RUU TPKS yang memang mampu mencapai tujuannya. Nah, tujuannya apa? Tentu saja untuk menangani dengan baik semua kasus kekerasan seksual, dan menangani dalam arti berfokus pada korban baik pemulihan korban maupun juga dalam hukum acara supaya semua bisa berjalan dengan baik, tidak tumpang tindih dan tidak menimbulkan kebingungan di lapangan," ungkapnya.
Bivitri juga menekankan bahwa untuk mencapai tujuan RUU TPKS tersebut, perlu melalui pembahasan yang mendalam dan partisipasi bermakna atau meaningful participation. Ia menjelaskan bahwa partisipasi bermakna harus mempertimbangkan 3 hal, yaitu hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat.
"Selain itu, dalam partisipasi bermakna artinya yang diundang adalah masyarakat yang terkena dampak, orang-orang yang punya kepedulian atau concern. Artinya, marilah kita sama-sama tekankan bahwa ini bukan hanya soal keahlian, tapi soal pengalaman," pungkasnya.
Menurut Bivitri, perspektif seorang pendamping korban tentu akan sangat berbeda. Oleh karena itu, masyarakat terdampak, baik korban maupun pendamping korban, perlu didengarkan karena mengetahui persis bagaimana pelaksanaan RUU TPKS nantinya di lapangan.
"Korban dan pendamping korban, itu perlu didengarkan karena tahu persis nanti melaksanakannya bagaimana, tau persis ternyata ada trauma yang harus ditangani dengan baik dan dipulihkan. Mari kita ingatkan semua pembahasan ini harus dilaksanakan secara terbuka, meskipun dalam masa pandemi," tutupnya.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!