Benarkah Orang yang Sering Tertawa Sebenarnya Paling Mudah Sedih? Ini Kata Penelitian
Kebahagiaan adalah salah satu kunci yang harus dimiliki jika ingin kesehatan mental selalu terjaga. Orang yang bahagia biasanya akan menunjukkan raut wajah berseri-seri dan bahkan sering tertawa.
Namun, ironisnya, dari Brain World Magazine, kamu bisa menemukan fakta bahwa alasan orang tertawa tidak selalu karena merasa bahagia. Bahkan, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang sering tertawa nyatanya paling mudah sedih! Kok bisa?
Orang Terlucu Menyimpan Banyak Luka
![]() Ilustrasi/Foto: Unsplash/Tyler Nix |
“Tertawa adalah obat terbaik dari segala penyakit” mungkin adalah kalimat yang sering kamu dengar. Beberapa penelitian ilmiah bahkan mendukung pernyataan ini karena tertawa memang efektif untuk mengurangi respons stres, meningkatkan sistem imun, dan meringankan rasa sakit yang kronis.
Meskipun begitu, kamu tentu pernah mendengar berita mengejutkan dari Robin Williams yang mengakhiri hidupnya di usia 63 tahun pada Agustus 2014 silam. Tak ada yang menyangka bahwa seorang komedian yang telah membuat banyak orang tertawa dan memiliki citra ceria itu rupanya didiagnosis dengan alkoholisme, demensia, hingga gangguan kesehatan mental depresi.
Robin Williams bukanlah satu-satunya, mengingat ada banyak nama lain yang mengambil pilihan serupa, seperti Freddie Prinze, Ray Combs, Richard Jeni, hingga Charles Rocket. Bahkan beberapa komedian seperti Ellen DeGeneres, Sarah Silverman, Richard Pryor, dan Woody Allen pernah mengungkapkan atau menjadikan perjuangan mereka melawan depresi dan kurangnya penghargaan terhadap diri sendiri sebagai materi dari komedinya.
Hubungan antara Humor dan Kesedihan
Ilustrasi/Foto: pexels.com/liza-summer |
Salah satu studi psikologi dari para komedian terbaru yang diselesaikan pada tahun 1975 oleh Samuel Janus dari New York Medical College, meneliti 55 komedian penuh waktu yang sukses (dilihat dari standar penghasilan yang mencapai 6 digit atau lebih). Dalam penelitian itu ditemukan bahwa 80 persen komedian pernah menjalani psikoterapi.
Yang menarik dari penelitian itu adalah bahwa para komedian itu berulang kali menyatakan ketakutannya bahwa jika penderitaan mereka banyak berkurang, maka mereka akan menjadi makin tidak menghibur. Bisa dilihat bahwa para komedian itu sendiri melihat adanya korelasi antara penderitaan dengan kemampuan mereka untuk membuat orang lain tertawa.
Benarkah Orang yang Sering Tertawa Sebenarnya Paling Mudah Sedih? Ini Kata Penelitian
Benarkah Orang yang Sering Tertawa Sebenarnya Paling Mudah Sedih? Ini Kata Penelitian/Foto: Unsplash/Gabrielle Henderson Description
Rasa Frustasi adalah Elemen Kunci dari Sebuah Komedi
Kartun sejenis Looney Tunes dan Hanna Barbera terlihat lucu ketika Wile E. Coyote, Elmer Fudd, dan Tom Cat berulang kali gagal telak untuk menangkap mangsanya. Di kehidupan nyata, para predator ini berada di puncak rantai makanan, tetapi di dalam kartun tersebut kondisi mereka yang benar-benar berada di posisi terendahnya adalah hal yang patut ditertawakan.
Dalam sitkom keluarga, seperti One Day at a Time, The Andy Griffith Show, dan Full House, kamu akan melihat orang tua kikuk membesarkan anak-anak yang liar dan terlihat dewasa sebelum waktunya. Kemudian dalam I Love Lucy, protagonis perempuan bernama Lucy berulang kali melawan kehendak Si Kepala Keluarga Ricky dengan berbagai cara, tetapi harus mendapat malu dan kembali menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga yang “baik”.
Dari semua materi yang diangkat dalam sketsa bergenre komedi itu, kamu tentu bisa melihat bahwa rasa frustasi adalah elemen kunci dari suatu situasi komedi.
Perbedaan antara Membuat Orang Lain Tertawa dan Ditertawakan
Ilustrasi tertawa/ Foto: Getty Images/FG Trade |
Banyak filsuf dan ahli psikologi yang selama beberapa dekade memperdebatkan tentang alasan jenis humor tertentu lebih populer dibandingkan yang lainnya. Salah satu hal yang paling jelas adalah adanya hubungan antara tertawa dengan perasaan seseorang terhadap sebuah penghinaan.
Dalam dunia komedi tunggal, kamu tentu biasa menemukan genre yang melibatkan penghinaan terhadap diri sendiri, seperti ketika Kevin Hart menyinggung tentang perawakannya yang kecil atau saat Phyllis Diller menyebut dirinya jelek. Komedian bisa melakukan lawakan semacam ini karena mereka sendiri sangat memahami perasaan terhina itu.
Para psikolog telah sering mengobservasi fakta bahwa kemampuan untuk melucu sering kali dikembangkan dari mekanisme pertahanan diri seseorang di masa remaja. Mereka adalah anak-anak yang luar biasa pemalu dan sensitif terhadap penghinaan sehingga mereka mengatasi ancaman atas rasa malu dengan cara melucu.
Banyak komedian yang memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang sulit atau mengalami masa kecil traumatis sehingga mereka tahu benar rasa sakit saat menjadi orang dengan kasta sosial rendah yang disisihkan. Secara sadar atau tidak sadar, mereka memutuskan bahwa agar tidak ditertawakan, mereka akan dengan sengaja membuat orang lain tertawa.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

Ilustrasi/Foto: pexels.com/liza-summer
Ilustrasi tertawa/ Foto: Getty Images/FG Trade