Indonesia Darurat Kekerasan Seksual: Ketika Tempat Aman Menjadi Ancaman karena Penyalahgunaan Kekuasaan

Nadya Quamila | Beautynesia
Kamis, 17 Apr 2025 09:30 WIB
Budaya Patriarki yang Masih Mengakar hingga Fenomena Gunung Es
Ilustrasi/Foto: Ilustrasi dari Rajulur Rasyid

Indonesia darurat kekerasan seksual. Belakangan ini, pemberitaan soal kasus kekerasan dan pelecehan seksual marak bermunculan. Mirisnya, kekerasan seksual ini terjadi di instansi pelayanan kesehatan dan pendidikan, lingkungan yang diyakini menjadi tempat aman bagi masyarakat.

Tak hanya itu, kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan ini terjadi melibatkan oknum dokter, polisi, hingga guru besar di sebuah universitas. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, sekaligus kekhawatiran: bagaimana bisa orang yang dianggap memiliki intelektualitas dan pendidikan tinggi justru melakukan aksi tak terpuji? Tempat dan orang yang seharusnya memberikan rasa aman justru merusak kepercayaan dan ditakutkan menjadi sebuah ancaman. 

Kasus-kasus ini tentu dapat mencoreng citra rumah sakit dan institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan terhormat. Selain itu, deretan kasus kekerasan seksual yang belakangan terjadi, pilunya, menunjukkan bahwa kaum perempuan masih menjadi target dari aksi bejat ini.

Kasus Dugaan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Instansi Pelayanan Kesehatan

Ilustrasi USG

Ilustrasi/Foto: Freepik/freepik

Beauties, baru-baru ini viral dua kasus dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di instansi pelayanan kesehatan. Kedua kasus ini sama-sama melibatkan sosok dokter.

Pertama, kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dilakukan oleh Priguna Anugerah P (PAP), seorang dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (Unpad) terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) di Bandung, Jawa Barat.

Pihak kepolisian mengungkap kronologi kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah P, dokter peserta PPDS FK Unpad di RSHS Bandung. Peristiwa ini terjadi pada 18 Maret sekitar pukul 01.00 WIB.

Korban adalah anak perempuan dari seorang pasien. Saat itu, korban tengah menjaga ayahnya, lalu diminta tersangka untuk pengecekan atau transfusi darah. Tersangka berdalih akan mengambil darah korban untuk transfusi bagi orang tuanya yang tengah dirawat. Tersangka selanjutnya membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7.

"[Tersangka] meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya," ungkap Kabid Humas Polda Jawa Barat (Jabar) Kombes Pol Hendra Rochmawan di Polda Jabar, Rabu (9/4), dilansir dari CNN Indonesia.

Sesampainya di lantai 7, korban diminta untuk berganti pakaian menggunakan baju operasi. Korban diminta untuk melepas baju dan celananya. Selanjutnya tersangka membius korban dengan cara penyuntikan di lengan kanan dan kiri kurang lebih sebanyak 15 kali hingga korban tak sadarkan diri, sebagaimana dilansir dari detikcom.

"Kemudian tersangka menghubungkan jarum tersebut ke selang infus, setelah itu tersangka menyuntikkan cairan bening ke selang infus tersebut dan beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri," kata Hendra.

Pada pukul 04.00 WIB, korban tersadar dan kembali ke IGD. Namun, saat korban hendak buang air kecil, ia merasakan sakit pada alat vitalnya.

Korban lalu bercerita kepada ibunya soal tindakan yang dilakukan tersangka sebelum dirinya tak sadarkan diri. Keluarga korban merasa ada kejanggalan dari rasa sakit yang dirasakan korban. Mereka akhirnya melaporkan itu kepada pihak kepolisian.

Kabar terbaru, korban yang diduga diperkosa Priguna bertambah, total menjadi tiga perempuan. Korban pertama yang terungkap dan telah melapor adalah anak dari salah satu pasien di RSHS. Kini diduga ada dua korban perempuan lainnya yang merupakan pasien di RSHS.

Priguna sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka kasus dugaan pemerkosaan terhadap pendamping pasien di RSHS Bandung. Pelaku terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Kasus Dugaan Pelecehan Seksual yang Dilakukan Dokter Kandungan di Garut

Selang beberapa hari dari kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Priguna, muncul lagi kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang dokter kandungan di Garut, Jawa Barat, berinisial MSF terhadap pasien saat pemeriksaan USG. Berdasarkan penyelidikan polisi, korban diketahui lebih dari satu orang. Kasus ini diduga terjadi pada 2024. 

Oknum dokter kandungan ini diketahui merupakan lulusan dokter spesialis obstetri dan ginekologi Universitas Padjajaran (Unpad). Pengelola klinik, Dewi Sri Fitriani, angkat bicara mengenai kasus dugaan pelecehan yang dilakukan oleh dokter kandungan yang sedang viral di media sosial. Berdasarkan penuturan Dewi, jauh sebelum kasus ini ramai diperbicangkan, pihaknya sudah banyak menerima aduan dari pasien terkait dugaan aksi pelecehan seksual yang dilakukan dokter MSF.

"Sempat ada keluhan dari pasien," kata Dewi, dilansir dari detikJabar.

Menerima banyak keluhan dari pasien, pihak klinik lalu memasang CCTV di ruang pemeriksaan. Hasilnya, ditemukan fakta jika dokter MSF diduga kuat melakukan aksi pelecehan seksual kepada pasien.

Kabar terbaru, Polres Garut telah menangkap dokter MSF.

"Dokter sudah diamankan," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Surawan, Selasa (15/4), dilansir dari CNN Indonesia.

Kasus Pencabulan Eks Kapolres Ngada terhadap Anak di Bawah Umur

Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja

Sidang kode etik eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja/Foto: dok. istimewa

Pada Maret 2025, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kabar eks Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dinyatakan terbukti melecehkan anak di bawah umur. Selain itu, dia juga terbukti berzina tanpa ikatan pernikahan.

Putusan tersebut diungkap dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar tertutup di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/3/2025). Selain itu, Fajar juga dijatuhi hukuman pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) atas kesalahannya.

Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa Fajar telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur sebanyak tiga orang, berusia enam, 13, dan 16 tahun. Sementara itu, korban dewasa berusia 20 tahun.

Fajar juga dengan sadar merekam hingga mengunggah video pelecehan seksual tersebut. Di sisi lain, dia juga terbukti mengonsumsi narkotik. Sebagai informasi, sebelumnya Fajar telah ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba dan asusila. Ia telah ditahan di rumah tahanan (Rutan) Bareskrim Polri.

Salah satu hal yang bikin heboh dari kasus ini adalah aksi Fajar terkuak saat pemerintah Australia mendapat video dugaan pencabulan tersebut dari salah satu situs porno. Pemerintah Australia lalu melapor kepada pemerintah Indonesia melalui (Kementerian PPPA). Kemudian, Kementerian PPPA melanjutkan informasi tersebut ke kepolisian untuk ditindaklanjuti dan berkoordinasi dengan dinas setempat untuk membantu korban.

"Pertama itu ada berita dari Pemerintah Australia itu langsung disampaikan ke kementerian PPA. Dari Kementerian PPA itu menyampaikan ke Polda NTT," kata Plt Kadis P3A Kota Kupang, Imelda Manafe saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (10/3).

Imelda menerangkan pemerintah Australia mendapat video dugaan pencabulan tersebut dari salah satu situs porno yang kemudian dilaporkan kepada pemerintah RI.

Berdasarkan hasil konseling, terungkap bahwa dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh AKBP Fajar sudah terjadi sejak pertengahan tahun 2024.

Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Guru Besar UGM

Ilustrasi korban kekerasan seksual

Ilustrasi/Foto: Ilustrasi dari Rajulur Rasyid

Dugaan kekerasan seksual juga terjadi di instansi pendidikan. Dilansir dari CNN Indonesia, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Edy Meiyanto diduga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap para korban di kediaman pribadinya.

Menurut Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius, modus Edy melakukan kegiatan akademik seperti bimbingan skripsi atau tesis di luar kampus.

"Kalau modusnya, kegiatannya itu dilakukan lebih banyak di rumah. Mulai dari diskusi bimbingan dokumen akademik, baik itu skripsi, thesis, dan disertasi," ujar Andi ditemui di Balairung, UGM, Sleman, DIY, Selasa (8/4).

Selain itu, menurut Andi, kegiatan di Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi UGM juga biasanya jadi modus Edy melakukan aksi bejatnya. Edy sebelumnya sempat menjabat sebagai Ketua CRCC.

"Kemudian juga (kegiatan) di research center-nya dan juga kegiatan-kegiatan lomba. Jadi biasanya ada lomba, mereka membuat dokumen atau persiapan proposalnya itu dilakukan di luar kampus," ucap Andi.

Selain itu, lanjut Andi, pelaku juga melakukan pelecehan seksual dalam bentuk verbal di lingkungan kampus. Hal ini berdasarkan pengakuan sejumlah saksi yang diperiksa.

"Kalau kami melihat dari yang diperiksa, itu memang ada (di kampus) tetapi itu yang verbal. Verbal, ya," kata dia.

Adapun saat ini Edy telah dipecat sebagai dosen UGM. Andi menegaskan sanksi itu dijatuhkan berdasarkan temuan dan bukti-bukti dalam proses pemeriksaan Komite Pemeriksa bentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM.

Penyalahgunaan Kekuasaan dan Ketimpangan Relasi Kuasa

Ilustrasi kasus kekerasan seksual

Ilustrasi/Foto: Ilustrasi dari Errizdwi

Kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini meninggalkan pertanyaan di benak masyarakat: bagaimana bisa? Ya, bagaimana bisa sosok yang dianggap memiliki intelektualitas dan pendidikan tinggi justru melakukan aksi tak terpuji? Bagaimana bisa tempat yang seharusnya menyediakan rasa aman justru malah paling mengancam?

Kepercayaan masyarakat tercoreng akibat penyalahgunaan kekuasaan dari oknum-oknum yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan seksual di instansi pelayanan kesehatan, misalnya. Seorang pasien datang kepada dokter karena membutuhkan bantuan dan mempercayai keahlian dokter terkait kesehatan dan tubuh mereka. Namun, oknum dokter menyalahgunakan kepercayaan pasien dan terjadilah penyalahgunaan kekuasaan.

Di banyak kasus kekerasan seksual, ketimpangan relasi kuasa sering kali menjadi salah satu faktor terjadinya hal ini. Relasi kuasa adalah hubungan antara dua pihak atau lebih di mana satu pihak memiliki lebih banyak kekuatan, pengaruh, atau otoritas dibandingkan pihak lainnya. Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi ketimpangan relasi kuasa, salah satunya jabatan atau posisi hingga keahlian atau pengetahuan.

Dalam konteks kekerasan seksual, ketimpangan relasi kuasa bisa terjadi ketika pihak yang memiliki kekuatan atau otoritas lebih tinggi memanfaatkan posisi tersebut untuk melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap pihak yang lebih rentan atau memiliki posisi lebih rendah. Pelaku akan menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi, mengancam, memaksa, atau mengeksploitasi korban.

Budaya Patriarki yang Masih Mengakar hingga Fenomena Gunung Es

Ilustrasi kekerasan seksual

Ilustrasi/Foto: Ilustrasi dari Rajulur Rasyid

Dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebagian besar korbannya adalah kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari faktor budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. 

Budaya patriarki sering kali memandang perempuan sebagai objek seksual yang keberadaannya dinilai berdasarkan daya tarik fisik dan tugasnya hanya untuk melayani pria. Pandangan ini pada akhirnya membuat kaum perempuan kehilangan martabat dan haknya sebagai individu. Bahkan, dalam budaya patriarki, suara perempuan sering kali diabaikan, dieremehkan, hingga dibungkam, termasuk ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual.

Budaya patriarki, di mana menganggap pria memiliki kekuasaan yang lebih besar, menciptakan kondisi yang menormalisasi bahkan membenarkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Jangan lupakan pula fenomena gunung es pada kasus kekerasan seksual. Ada banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi, namun, tidak dilaporkan. 

Korban kekerasan seksual sering kali enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Ya, bagi korban, berani bersuara, melapor, hingga memperjuangkan keadilan bagi dirinya bukan hal yang mudah untuk dilakukan, meskipun itu adalah haknya.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan korban enggan untuk melapor. Salah satu faktor penyebab korban sulit melapor adalah stigma yang beredar di masyarakat. 

Korban dianggap sebagai sosok yang 'kotor' hingga memalukan jika alami kekerasan seksual. Padahal, korban adalah korban, dan yang seharusnya menanggung rasa malu hingga sanksi sosial adalah pelaku, bukan sebaliknya.

 

CATAHU 2024 Komnas Perempuan: Profesi Pelaku Justru dari Kalangan yang Seharusnya Melindungi Masyarakat

Ilustrasi Lawan KS/Foto: Bayunknown, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons

Ilustrasi/Foto: Bayunknown, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 dengan tema "Menata Data, Menajamkan Arah: Refleksi Pendokumentasian dan Tren Kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2024."

Salah satu hal yang jadi sorotan adalah profesi pelaku. Jenis pekerjaan atau status korban yang paling banyak adalah pelajar/mahasiswa, IRT, pegawai swasta, tidak bekerja dan lainnya. Pola ini juga hampir sama terjadi pada pelaku/terlapor di mana pekerjaan pelaku/terlapor paling banyak adalah pegawai swasta, pelajar/mahasiswa dan tidak bekerja.

Jika dilihat data pelaku lebih rinci, orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru, Dosen, Aparat Penegak Hukum
 (APH), Pemerintah, Polisi, TNI, Tenaga Medis/Kesehatan, Pejabat Publik/Negara dan Tokoh Agama yang berjumlah 244 orang, atau 7,09% dari total pelaku yang diketahui profesinya.

Berdasarkan data pelaporan yang diberikan mitra CATAHU 2024, Korban terbanyak berstatus pelajar/mahasiswa 14.094, dilanjutkan IRT 5.836 dan tidak bekerja 4.693, sedangkan pelaku paling banyak adalah karyawan swasta 4.330, Buruh 4.144 dan pelajar/mahasiswa 3.105. Selain itu, data yang tidak teridentifikasi (NA) tidak dipungkiri jumlahnya juga sangat banyak. Pelaku/terlapor TNI, POLRI, dan ASN termasuk tinggi dengan total 1.280 kasus.

UU TPKS Jadi Payung Hukum untuk Lindungi Korban Kekerasan Seksual

Ilustrasi Lawan KS/Foto: Herra Frimawati, CC BY-SA 4.0 , via Wikimedia Commons

Ilustrasi/Foto: Herra Frimawati, CC BY-SA 4.0 , via Wikimedia Commons

Indonesia memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasasn Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual. UU ini juga mengatur sanksi pidana untuk mencegah kejahatan berulang, serta memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban.

Ada banyak kasus kekerasan seksual yang sering kali berakhir pada penyelesaian secara damai. Hal ini, tentu, merugikan pihak korban karena tidak mendapatkan keadilan.

Namun, dengan hadirnya UU TPKS, maka dipastikan penyelesaian kasus kekerasan seksual secara damai tidak akan terjadi.

Ada sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS. 

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri dari:

(1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
a. pelecehan seksual nonfisik;
b. pelecehan seksual fisik;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan sterilisasi;
e. pemaksaan perkawinan;
f. penyiksaan seksual;
g. eksploitasi seksual;
h. perbudakan seksual; dan
i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

(2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Beauties, jika kamu menjadi korban atau pernah melihat kekerasan terhadap anak dan perempuan, kamu bisa melapor ke layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memiliki hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau kamu bisa menghubungi Whatsapp 08-111-129-129. Masyarakat yang melihat, mendengar dan mengetahui adanya tindak kekerasan di sekeliling mereka bisa melapor ke kontak layanan tersebut.

“Sudah banyak masyarakat yang mendapatkan manfaat dari Layanan SAPA129, sehingga masyarakat yang menjadi korban kekerasan dapat segera ditangani," dilansir dari situs resmi Kementerian PPPA.

Layanan SAPA ini tersedia 24 jam. SAPA 129 memiliki layanan berdasarkan standar perlindungan khusus perempuan dan anak, meliputi pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.

Selain Layanan SAPA129, masyarakat ataupun korban juga dapat melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah-Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat seperti P2TP2A, dan kepolisian.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE