
Memahami Fenomena Bias Gender yang Masih Mengakar di Masyarakat: Perempuan dan Pria Sama-sama Dirugikan!

Bias Gender Menumbuhkan Kecenderungan Seksisme dan Pandangan Misoginis
![]() Ilustrasi Misogini/Foto: Canva/ibreakstock |
Bias gender pada dasarnya dikonstruksi secara sosial berdasarkan hegemoni dan dilanggengkan oleh propaganda. Akar dari pembagian gender yang timpang sering disebut berasal dari norma budaya, norma agama, keadaan biologis dan lain sebagainya. Namun yang pasti, ketidakadilan gender selalu bermula dari ego golongan superior yang tidak ingin kehilangan privilege mereka.
Meski perempuan dan pria sama-sama dirugikan oleh bias gender, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan cenderung lebih tertindas dua kali lipat. Perempuan tidak hanya disalahkan saat mereka tidak melakukan peran sesuai ekspektasi sosial, tapi juga diremehkan atas apapun yang lahir sejak dalam diri mereka. Bentuk mengucilkan ini adalah pandangan seksis dan pandangan misoginis.
Seksisme adalah prasangka yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang. Seksisme dalam konteks penindasan gender terhadap perempuan adalah anggapan bahwa perempuan itu lemah, tidak rasional dan tidak logis, emosional dan labil, kesemua hal tersebut adalah label yang dilekatkan pada perempuan sejak lahir hingga dewasa. Jika perempuan berupaya mendobrak stigma tersebut dengan melakukan hal-hal yang identik dengan maskulinitas, kekuatan mereka tetap dianggap tidak valid.
Tidak hanya diremehkan, terkadang ada pula oknum pria yang menganggap perempuan secara kodrat adalah kaum yang serba tercela. Pandangan inilah yang dimaksud dengan misogini, Beauties. Oknum-oknum tersebut sangat membenci perempuan karena alasan-alasan yang tidak berdasar. Seperti bahwa perempuan hanya tukang drama, perempuan diciptakan sebagai makhluk lemah yang penuh dosa, atau juga anggapan bahwa semua perempuan adalah penggoda yang hanya pantas dijadikan objek seksual semata.
Diskriminasi Akibat Bias Gender
![]() Ilustrasi Diskriminasi Gender/Foto: Canva/ Elnur |
Beauties, rasanya tidak cukup untuk mendata seluruh ketidakadilan di muka bumi yang berbasis bias gender. Segala yang menyangkut prasangka buruk dan pelabelan negatif berdasarkan gender pasti berujung diskriminatif.
Diskriminasi akan terus berkembang seiring jaman, menjadi semakin tidak adil, sayangnya. Diskriminasi juga telah mendarah daging di semua aspek kehidupan. Dalam sebuah hubungan misalnya, pria dibebani tuntutan sosial untuk mengeluarkan materi sepihak demi menyenangkan pasangannya. Jika perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pria sangat mudah dipenjarakan. Namun ketika pria mengalami KDRT, orang-orang mempertanyakan harga dirinya sebagai pemimpin rumah tangga.
Di sisi lain, sangat sulit bagi perempuan untuk mendapat gaji setara, dipercaya memegang kendali atas tugas-tugas berat, mendapat promosi jabatan, atau dipilih menjadi seorang pemimpin. Alasannya beragam, tapi kesemuanya hanyalah prasangka negatif semata.
Prasangka-prasangka negatif tersebut tidak valid karena terbukti terdapat beberapa perempuan di Indonesia terkenal dengan kepemimpinan tangguhnya seperti Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Megawati Soekarnoputri, Retno Marsudi, dan masih banyak lagi. Meski kursi parlemen sudah mulai diisi dengan kehadiran perempuan, namun jumlah yang belum seimbang dengan pria dan kritik-kritik misoginis yang didapat pejabat perempuan menunjukkan bahwa masyarakat kita belum sepenuhnya pro kesetaraan gender.
Itu dia problematika bias gender yang masih sering ditemui di keseharian kita. Semoga Hari Perempuan Internasional yang digelar setiap tahun bukan sebatas gerakan simbolis, tapi gerakan nyata untuk mengingatkan kita semua bahwa keadilan gender adalah bagian dari hak asasi manusia dan diraih demi kebaikan bersama.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!