Menurut Penelitian, Ini 5 Kenyataan Pahit tentang Pernikahan yang Sering Terlambat Disadari

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Kamis, 09 Oct 2025 22:30 WIB
Menurut Penelitian, Ini 5 Kenyataan Pahit tentang Pernikahan yang Sering Terlambat Disadari
Kenyataan Pahit tentang Pernikahan yang Sering Terlambat Disadari Menurut Penelitian/Foto: Freepik

Banyak orang tumbuh dengan idealisme tentang pernikahan, terutama karena media dan budaya kerap menggambarkannya sebagai sebuah kisah cinta yang sempurna, penuh kebahagiaan, harmoni, dan keabadian. Namun, realita pernikahan tidak selalu seindahan yang terlihat.

Pernikahan, pada kenyataannya, dipenuhi dengan tantangan, kompromi, bahkan kenyataan pahit yang jarang dibicarakan secara terbuka. Artikel yang dilansir dari Fodmap Everyday ini hadir untuk membahas 5 kenyataan pahit pernikahan yang kerap baru disadari setelah perjalanan bersama dimulai, berdasarkan pandangan para psikolog dan penelitian.

Pernikahan Tidak Selalu 50/50

Realita pernikahan tidak selalu seimbang seperti bayangan banyak orang. Ada kalanya satu pihak menanggung lebih banyak beban emosional, sementara yang lain sibuk dengan urusan keuangan. Ketidakseimbangan ini wajar dan justru menjadi bagian dari proses saling memahami.
Realita pernikahan tidak selalu 50-50/Foto: Freepik/pressfoto

Dalam pernikahan, banyak orang berharap segala hal bisa terbagi rata, mulai dari tugas rumah tangga, tanggung jawab, hingga beban pikiran, tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Fakta pernikahan yang sering terlambat disadari adalah ada kalanya satu pihak lebih terbebani secara emosional, sedangkan yang lain lebih sibuk mengurus keuangan. Perubahan keseimbangan ini wajar terjadi, bahkan sering kali tidak bisa benar-benar disamakan kembali.

Penelitian tahun 2023 dari Psychology of Relationships menunjukkan bahwa banyak pasangan merasa kontribusi mereka lebih besar daripada yang sebenarnya dan perasaan ini bisa memicu rasa kesal di kemudian hari. Oleh karena itu, kunci pernikahan yang sehat bukanlah membagi semua hal dengan hitungan 50/50, melainkan bagaimana kedua belah pihak mau beradaptasi, berbagi dengan cara yang realistis, dan terus berkomunikasi.

Ketidakseimbangan bukanlah tanda kegagalan pernikahan, melainkan bagian dari proses memahami cara kerja masing-masing pasangan. Pernikahan bukan soal kesempurnaan, tetapi tentang belajar berjalan bersama meskipun langkah kalian tidak selalu sama panjang.

Keintiman Membutuhkan Usaha

Kenyataan tentang pernikahan yang sering terlambat disadari/Foto: Freepik

Fakta bahwa keintiman membutuhkan usaha adalah kenyataan pahit pernikahan/Foto: Freepik

Keintiman dalam pernikahan bukanlah sesuatu yang akan selalu intens, apalagi kalau tidak dibarengi dengan usaha nyata dari kedua belah pihak. Pada awalnya, fase bulan madu memang terasa penuh gairah, tetapi seiring berjalannya waktu, menjaga kedekatan—baik secara emosional maupun fisik—tidak semudah yang dibayangkan, Beauties.

Sebuah survei dari American Psychological Association tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pasangan menikah mengalami penurunan kedekatan fisik setelah beberapa tahun bersama. Menurut terapis hubungan, Dr. Samantha Lee, berkurangnya keintiman biasanya menandakan hilangnya koneksi emosional dalam hubungan. Untuk membangunnya kembali, pasangan membutuhkan waktu, kesabaran, dan niat yang sungguh-sungguh.

Artinya, keintiman tidak bisa hanya diharapkan terjadi dengan sendirinya. Ia harus dijadikan prioritas dan sesuatu yang terus diperjuangkan, bahkan ketika hidup terasa sibuk dan penuh tuntutan.

Kamu Tidak Selalu Bisa “Memperbaiki” Pasanganmu

Kenyataan pahit pernikahan baru disadari ketika kamu sadar bahwa kamu tidak selalu bisa memperbaiki pasanganmu/Foto: Freepik

Dalam pernikahan, wajar jika kamu ingin pasangan menjadi lebih baik. Namun, kenyataannya kamu tidak selalu bisa mengubahnya sesuai harapanmu. Terlalu keras berusaha untuk melakukannya justru bisa membuatmu lelah, mengubah hubungan menjadi penuh tekanan, dan juga menimbulkan perasaan jengkel.

Pernikahan bukan tentang memperlakukan pasangan seolah-olah ia adalah proyek perbaikan atau pasien terapi, melainkan tentang berdiri bersama dan saling menopang. Penelitian dari The Journal of Marriage and Family bahkan menunjukkan bahwa pasangan yang terlalu sibuk berusaha “memperbaiki” satu sama lain memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi. Seperti yang ditegaskan psikolog Dr. John Wiklerson, pernikahan yang sehat adalah ketika kedua belah pihak mau bertumbuh bersama, bukannya sibuk mencari kesalahan atau kelemahan untuk diubah.

Pernikahan berarti menerima kekurangan masing-masing sekaligus memberi dukungan agar keduanya bisa berkembang. Alih-alih berusaha mengubah pasangan, berikan ruang satu sama lain untuk tumbuh dan menemukan versi terbaik dari diri masing-masing.

Kamu Membutuhkan Ruang Pribadi

Fakta pernikahan yang sering terlambat disadari adalah kamu membutuhkan ruang pribadi/Foto: Freepik

Dalam sebuah pernikahan, kedekatan dan jarak sama-sama penting. Justru ketika pasangan memberi ruang untuk satu sama lain, hubungan biasanya tumbuh lebih sehat. Sayangnya, masih banyak yang salah paham dan mengira jarak adalah tanda masalah.

Padahal, riset dari American Pyschological Association menunjukkan bahwa 70 persen pasangan yang rutin meluangkan waktu untuk diri sendiri, baik dengan mengejar hobi maupun berkumpul bersama teman, merasa lebih puas dengan hubungan mereka dan makin dekat dengan pasangan. Dr. John Gottman, seorang pakar psikologi hubungan, menegaskan bahwa kebebasan untuk berkembang sebagai individu adalah hadiah berharga dalam sebuah pernikahan.

Jadi, memberi ruang bukan berarti koneksi memudar, melainkan justru cara untuk merawat cinta, menjaga ikatan, dan tetap waras di tengah perjalanan panjang sebuah hubungan. Keseimbangan inilah yang melindungi pasangan dari rasa lelah, jenuh, maupun emosi yang menumpuk.

Mengasuh Anak Akan Mengubah Hubungan dengan Pasangan

Realita pernikahan sering kali baru terasa saat tahu bahwa mengasuh anak akan mengubah hubungan dengan pasangan/Foto: Freepik

Mengasuh anak bukanlah perkara mudah, bahkan sering kali membawa perubahan besar dalam hubungan suami istri. Banyak orang mengira perjalanan ini akan berjalan mulus, tetapi kenyataannya anak bisa menghadirkan malam-malam tanpa tidur, tantangan baru, serta kejutan yang tidak selalu menyenangkan. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk tetap meluangkan waktu bersama dan saling membicarakan kebutuhan masing-masing.

Menjadi orang tua bukan hanya sekadar fase, melainkan babak baru yang menuntut penyesuaian dari kedua belah pihak. Sebuah penelitian dari Asosiasi Psikologi Amerika menunjukkan bahwa 67 persen orang tua mengalami penurunan kepuasan dalam pernikahan setelah memiliki anak. Dr. Anne M. Weber, seorang psikolog keluarga, juga menegaskan bahwa tekanan yang datang bersama peran sebagai orang tua memang dapat mengguncang keharmonisan rumah tangga.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE