Nestapa Warga Palestina saat Kembali ke Gaza, Saksikan Rumah Hancur Lebur Tak Bersisa

Nadya Quamila | Beautynesia
Jumat, 07 Feb 2025 07:30 WIB
Nestapa Warga Palestina saat Kembali ke Gaza, Saksikan Rumah Hancur Lebur Tak Bersisa
Nestapa Warga Palestina saat Kembali ke Gaza, Saksikan Rumah Hancur Lebur Tak Bersisa/Foto: AFP via Getty Images/MOHAMMED ABED

Kegembiraan menyelimuti hati warga Palestina ketika gencatan senjata resmi berlaku di Jalur Gaza. Mimpi buruk yang menghantui sejak serangan Israel pada Oktober 2023 kini berganti dengan adanya harapan baru untuk menjalani hidup tanpa bayang-bayang teror, bunyi ledakan, atau menyaksikan yang tercinta berpulang akibat kekejian Israel.

Namun, mimpi buruk itu rupanya belum sepenuhnya pergi. Sejak gencatan senjata berlaku, militer Israel rupanya masih membombardir Tepi Barat dan menewaskan hingga puluhan warga.

Di sisi lain, warga berbondong-bondong pulang ke rumah setelah lama mengungsi selama genosida Israel di Palestina. Namun, kegembiraan itu berganti dengan rasa pilu ketika mereka melihat kenyataan yang terpampang di depan mata.

Menurut data dari Al Jazeera, sekitar 60 persen bangunan di Gaza hancur lebur. Mulai dari rumah warga, sekolah, rumah sakit, bangunan bersejarah, mesjid, hingga tempat makan. Semua rata dengan tanah.

Pulang ke Rumah dengan Berjalan Kaki

18 November 2023, Palestinian Territories, Gaza City: A woman carries a baby as Palestinian families flee Gaza City and other parts of northern Gaza towards the southern areas amid ongoing battles between Israel and the Palestinian Hamas Group.. Photo: Mohammed Talatene/dpa (Photo by Mohammed Talatene/picture alliance via Getty Images)

Pulang ke Rumah dengan Berjalan Kaki/Foto: dpa/picture alliance via Getty I/picture alliance

Sejak gencatan senjata, lebih dari 375 ribu warga Palestina telah kembali ke Gaza utara. Banyak dari mereka yang pulang dengan berjalan kaki untuk menempuh jarak yang tidak dekat itu. Namun, kerinduan akan rumah membuat mereka teguh berjalan.

Ne’eman Abu Jarad dan keluarganya menjadi salah satu dari sekian banyak warga yang tak sabar pulang ke rumah. Ia bersama istri dan ketiga anaknya akhirnya kembali ke rumah setelah melarikan diri dari sepanjang jalur Gaza, bersembunyi dari bom Israel, kelaparan, kehilangan harta benda, hingga mengungsi di tenda.

“Kegembiraan kami tak tertandingi oleh yang lain, bukan kegembiraan atas kesuksesan, atas pernikahan atau atas kelahiran,” kata Majida, istri Ne'man, kepada AP. “Ini adalah kegembiraan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tulisan atau ekspresi apa pun.”

Keluarga Abu Jarad berangkat dari tenda mereka pada pukul 5 pagi, membawa tas berisi barang-barang mereka ke dalam mobil. Pengemudi membawa mereka ke tepi Koridor Netzarim, hamparan tanah di Gaza yang telah diubah oleh pasukan Israel menjadi zona militer.

Di sana, mereka keluar dan berjalan, bergabung dengan kerumunan besar yang berjalan menyusuri jalan pesisir. Selama sekitar 8 kilometer, Ne’eman yang berusia 49 tahun membawa satu karung di punggungnya, memegang karung lain di lengannya, dan dua tas tergantung di lekukan sikunya. Sepanjang perjalanan, keluarga ini sering berhenti untuk beristirahat dan menata ulang bawaan.

"Jalannya sangat sulit," kata Majida. "Namun, kegembiraan kami saat kembali membuat kami lupa bahwa kami lelah. Setiap meter yang kami lalui, kegembiraan kami memberi kami kekuatan untuk terus maju."

Pulang ke Rumah: Air-Makanan Langka

DEIR AL-BALAH, GAZA - MARCH 27: Palestinian youths, who take refuge in Nuseirat camp from ongoing Israeli attacks, pass the time by playing volleyball near a partially collapsed building while waiting for iftar time on the Holy month of Ramadan in Deir al-Balah, Gaza on March 27, 2024. (Photo by Ali Jadallah/Anadolu via Getty Images)

Pulang ke Rumah: Air-Makanan Langka/Foto: Anadolu via Getty Images/Anadolu

Setelah mencapai pinggiran selatan Kota Gaza, mereka menyewa sebuah mobil van. Namun, mobil itu tak lama kehabisan bahan bakar, dan mereka menunggu lebih dari satu jam sebelum menemukan mobil van lain. Saat berkendara melewati kota, mereka melihat pertama kali dampak perang yang menghancurkan di wilayah utara.

Mobil van itu berjalan menyusuri jalan-jalan kota yang dipenuhi puing-puing, berderet bangunan yang sudah hancur atau telah menjadi tumpukan beton.

"Mereka menghancurkan lebih banyak lagi di daerah ini," kata Ne'man, sambil menatap ke luar jendela saat mereka meninggalkan Kota Gaza dan memasuki kota Beit Lahiya dan Beit Hanoun, lokasi salah satu serangan Israel yang paling ganas dalam tiga bulan terakhir sebelum gencatan senjata.

Saat matahari mulai terbenam, keluarga itu sampai di lingkungan tempat tinggal mereka. Anak-anak perempuan Ne'eman berdiri dengan kaget. Banyak rumah yang hancur dan rata dengan tanha.

Sambil berjalan sekencang mungkin di bawah tas-tas yang menggantung di tubuhnya, Ne'eman berulang kali mengucap syukur kepada Tuhan. Rumah mereka masih berdiri tegak, seperti cangkang kosong di antara deretan bangunan yang rusak.

Setelah mereka berdoa di depannya, Ne'eman bersandar di dinding beton rumahnya yang polos dan menciumnya. Betapa senangnya dia saat mengetahui bahwa satu tanaman merambat berbunga di depan rumah itu secara ajaib masih hidup. Dia segera mulai memeriksa dan menata sulur-sulurnya.

Salah seorang anak Ne'eman berlari masuk melalui ke rumah yang kini tidak berpintu. Rasa terkejut, sedih, bahagia, dan kelegaan bercampur menjadi satu.

Seperti warga lain yang pulang kembali ke Gaza utara, keluarga Abu Jarad akan menghadapi pertanyaan tentang bagaimana cara bertahan hidup di reruntuhan kota-kota yang hancur akibat genosida Israel. Air dan makanan masih langka, membuat penduduk masih bergantung pada bantuan kemanusiaan, yang terus ditingkatkan di bawah gencatan senjata. Selain itu, tidak ada listrik. Puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Ne’eman mengatakan, kesedihan akibat perang sangat membebani dirinya. Pamannya kehilangan rumah, dan beberapa anak pamannya tewas. Beberapa rumah tetangganya hancur. Ne’eman mengatakan bahwa ia harus berjalan beberapa kilometer untuk mencari air, seperti yang dilakukannya di kamp pengungsian.

“Sekali lagi, kami akan hidup dalam penderitaan dan kelelahan," ujarnya.

Duka yang Menyelimuti Warga Palestina

DEIR AL-BALAH, GAZA - FEBRUARY 18: (EDITORS NOTE: Image depicts death) A Palestinian family hugs the dead body of their child who died in an Israeli attack as Palestinians, who lost their lives including children, being taken to Al-Aqsa Martyrs Hospital while Israeli army's intense bombardment of the Gaza Strip continues in Deir al-Balah, Gaza on February 18, 2024. (Photo by Ashraf Amra/Anadolu via Getty Images)

Duka yang Menyelimuti Warga Palestina/Foto: Anadolu via Getty Images/Anadolu

Warga yang kembali ke rumah berusaha mencari apa yang tersisa. Tess Ingram, Manajer Komunikasi UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, berada di wilayah utara tempat ia menyaksikan orang-orang berjalan di jalan dengan keledai, mobil, atau sepeda.

“Banyak orang dengan sekop berusaha menyingkirkan puing-puing, dan tentu saja Anda dapat melihat orang-orang mendirikan tempat penampungan sementara atau tenda di tempat yang saya duga dulunya adalah rumah mereka,” katanya kepada UN News.

Ingram yakin bahwa banyak orang dipenuhi dengan harapan dan kegembiraan karena mereka akhirnya dapat kembali ke tempat yang telah mereka harapkan selama lebih dari 15 bulan.

“Namun sekarang, saat saya berbicara dengan orang-orang, saya pikir kegembiraan itu sedikit tergantikan oleh rasa berat saat mereka menemukan kenyataan tentang apa yang telah terjadi di sini, di Kota Gaza,” katanya.

“Mereka berharap untuk kembali ke rumah yang tidak ada di sana, atau kepada orang terkasih yang telah terbunuh, dan saya pikir beban itu benar-benar menyusupi ke dalam diri orang-orang," tambahnya.

Bertahan hidup kala gencatan senjata berlaku juga bukan hal mudah. Ingram mengunjungi sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan yang menampung para pengungsi yang kembali bersama dengan orang-orang yang telah tinggal di sana selama genosida.

Ia bertemu dengan seorang ibu dan lima anaknya yang sangat membutuhkan pakaian dan makanan musim dingin, tetapi sebagian besar membutuhkan tempat tinggal karena rumah tempat mereka berharap untuk kembali telah hilang.

"Bukan hanya satu orang. Bukan 100 orang. Mungkin ada ribuan orang yang berada dalam situasi yang sama," katanya.

Ingram mencatat bahwa keluarga-keluarga melakukan perjalanan yang panjang dan berbahaya untuk kembali ke Kota Gaza.

Ingram melakukan perjalanan dari Al Mawasi, yang terletak di Jalur Gaza bagian tengah, yang memakan waktu 13 jam. Namun, beberapa keluarga membutuhkan waktu hingga 36 jam untuk melakukan perjalanan tersebut.

“Dan tentu saja perjalanan selama 36 jam itu sendiri sangat berbahaya,” katanya.

Walau gencatan senjata sudah berlaku, Gaza masih dihantui ketakutan. Meskipun suara jet tempur dan helikopter Israel berhenti, dengungan pesawat tanpa awak masih terus terdengar. Warga Gaza masih melihat puing-puing, merasakan kelaparan, merasakan trauma, mendengar suara pesawat tanpa awak, dan mencium bau pembusukan dari korban tewas.

Seorang pengungsi Palestina bernama Suad Saleh mengatakan bahwa hari tersulit baginya adalah ketika gencatan senjata. Sebab, dia harus menerima fakta bahwa rumahnya telah hancur lebur.

"Hari tersulit dalam hidupku adalah hari gencatan senjata. [Ketika] perang berhenti. Karena pada hari gencatan senjata aku tahu bahwa rumahku telah hancur. Ke mana aku akan kembali? Ke tenda. Dari tenda ke tenda," ujarnya kepada Al Jazeera.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE