Pengakuan Ardhito Pramono soal Trauma Masa Kecil, Apakah Luka Masa Lalu Bisa Jadi Pembenaran Sikap Seseorang?

Nadya Quamila | Beautynesia
Jumat, 16 May 2025 14:30 WIB
Pengakuan Ardhito Pramono soal Trauma Masa Kecil, Apakah Luka Masa Lalu Bisa Jadi Pembenaran Sikap Seseorang?
Ardhito Pramono/Foto: Instagram

Penyanyi Ardhito Pramono bercerita soal kehidupan percintaannya yang selama ini jadi sorotan publik. Pelantun lagu Bitterlove ini juga mengungkapkan penyesalan yang ia rasakan saat berpisah dengan mantan istrinya, Jeanneta Sanfadelia.

Baru-baru ini, Ardhito menjadi bintang tamu di Podcast Warung Kopi yang disiarkan melalui saluran YouTube HAS Creative. Berbincang dengan Gofar Hilman, Ardhito mengungkapkan bahwa ia mengorbankan hubungan pernikahannya demi orang lain, penyesalan terhadap mantan istri, hingga mengaku mengidap Borderline Personality Disorder (BPD).

Namun, ada satu pembahasan yang menarik perhatian netizen di media sosial. Ardhito sempat menyinggung bahwa dirinya memiliki trauma masa kecil, ia merasa tidak pernah merasa mendapatkan cukup cinta dari orangtuanya. Hal inilah, menurut Ardhito, memengaruhi keputusannya dalam banyak hal, termasuk soal rumah tangganya dan berhubungan dengan orang lain.

Arditho Singgung Alami Trauma Masa Kecil

Ardhito Pramono

Ardhito Pramono/Foto: Tangkapan Layar/YouTube

Ardhito Pramono blak-blakan bercerita soal kehidupan asmaranya, termasuk perceraiannya dengan Jeanneta Sanfadelia. Dalam podcast berdurasi satu jam itu, Ardhito mengaku bahwa perjalanan rumah tangganya memang tak mudah. Perbedaan prinsip, sikap Ardhito, hingga banyaknya pertengkaran membuat hubungan keduanya kandas.

Tak hanya itu, Ardhito juga membeberkan bahwa dirinya mengorbankan pernikahannya demi orang lain, di mana orang tersebut merupakan kekasihnya. Hal tersebut diungkapkan saat Ardhito sedang berbincang perihal tampil di suatu daerah.

"Waktu itu gue pacaran, terus abis itu mantan gue selingkuh, nah, selingkuhannya nyamperin gue. Dia bilang gini, 'Dhito, kan lo sacrifice (mengorbankan) pernikahan lo untuk orang ini, lo tahu nggak kalau sebenarnya dia [mantan pacar Ardhito] di salah satu kota, dia lagi kuliah, di kota itu dia punya pacar banyak. Dan gue salah satunya,'" papar Ardhito, dikutip dari saluran YouTube HAS Creative.

Pemeran Kale dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini itu lalu menyinggung soal trauma masa kecil yang pernah ia alami. Ia menyebut dirinya tidak pernah mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orangtuanya.

"Jadi kaya gue nggak pernah dikasih rasa cinta dan kasih sayang. Gue buka sebuah album, isinya nyokap gue meninggal, terus ada sebuah surat yang isinya, 'Aku akan menjaga anak ini.' [ditulis oleh ayah Ardhito]. Nggak menyayangi atau mencintai sepenuh hati, jadi gue nggak pernah tahu rasa cinta ini apa," ungkapnya.

Ardhito memaparkan bahwa ia merasa dirinya dibesarkan oleh sebuah keharusan, bukan cinta dan kasih sayang. Hal ini pada akhirnya berdampak pada hubungannya dengan orang lain, termasuk ketika menjalani bahtera rumah tangga dengan mantan istrinya.

"Gue merasa dibesarkan dengan sebuah keharusan, bukan dengan rasa cinta dan kasih sayang. Makanya saat mantan bini gue yang dibesarkan dengan rasa cinta dan kasih sayang dari keluarganya ngasih itu ke gue, gue masih selalu bertanya apakah ini rasa cinta yang diberikan ke gue? Karena gue nggak pernah merasakan itu," ungkap Ardhito.

Namun, Ardhito akhirnya menyadari bahwa seluruh perhatian, cinta, dan kasih sayang yang diberikan mantan istrinya dulu merupakan hal yang tulus. Setelah berpisah, Ardhito merasa kehilangan dan menyesal telah menyia-nyiakan mantan istrinya.

"Setelah gue lihat archive second account gue, dia [mantan istri Ardhito] memberikan hidupnya ke gue, tapi di saat itu karena gue nggak pernah merasa dicintai, gue terus bertanya," ujar Ardhito.

"Saat itu, gue menyadari, dia ngasih seluruh kehidupannya dia ke gua. Tapi karena gua nggak tahu cinta itu apa, gue nggak ngelihat itu sebagai suatu hal yang spesial. Di mana dia menaruh hidupnya ke gua. Penyesalan itu ada tadi malem," sambung Ardhito. 

Apakah Trauma Bisa Jadi Pembenaran Sikap Seseorang?

Penyebab depresi pada pria dan wanita bisa berbeda

Ilustrasi/Foto: unsplash.com/Nik Shuliahin

Kisah Ardhito Pramono soal trauma masa kecil yang dialaminya yang berdampak pada hubungannya dengan orang lain memicu beragam reaksi dari netizen di media sosial. Ada yang bersimpati, namun, ada pula yang mengatakan bahwa Ardhito hanya "berlindung" di balik tameng trauma untuk membenarkan perilakunya yang menyakiti hati mantan istrinya.

Lantas, apakah tindakan menyakiti orang lain dapat dibenarkan dengan alasan trauma?

Jawabannya, tidak, Beauties.

Seseorang yang pernah mengalami trauma, terlepas dari seberat atau sedalam apa trauma itu, tidak semerta-merta membuat orang tersebut bebas bertindak sesuka hati hingga menyakiti orang lain.

Dilansir dari Psychology Today, menurut psikoterapis Katherine Cullen, trauma bukanlah alasan yang dapat diterima untuk terus melakukan tindakan yang menyakiti dan menyebabkan penderitaan pada orang lain. Luka di masa lalu akibat trauma juga bukan cara untuk menghindari konsekuensi atau tanggung jawab atas tindakan yang menyebabkan rasa sakit emosional atau fisik kepada orang lain.

Sebenarnya, apa, sih trauma itu? Trauma adalah pengalaman apa pun yang membuat kita kesulitan untuk mengatasi masalah dan membuat kita merasa tidak aman. Trauma dapat menimbulkan ketidakberdayaan dan keputusasaan. Trauma dapat merampas keyakinan kita akan kemampuan kita untuk menyembuhkan, percaya, hidup, dan mencintai seperti yang pernah kita lakukan, sebelum pengalaman traumatis terjadi.

"Mengalami trauma sama sekali bukanlah pembenaran untuk perilaku berbahaya, dan tidak peduli seberapa besar trauma yang dialami seseorang, itu tidak membebaskannya dari tanggung jawab jika dan ketika mereka menyakiti orang lain," ungkap Cullen.

Cullen memberikan contoh bagaimana seseorang dapat "menggunakan" trauma mereka sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab atas perilaku mereka yang menyakiti orang lain.

"Seorang mencoba untuk mengelak dari kesalahan karena telah berselingkuh dari pasangannya yang tersakiti, dengan menyatakan bahwa dirinya telah mengalami pelecehan seksual ketika kuliah, dan hal ini menyebabkan dia tidak ingin dekat dengan siapa pun," ungkap Cullen.

Pengalaman traumatis yang dialami individu tersebut mungkin membuatnya merasa dirugikan dari berbagai aspek dan merasa hancur. Namun, hal ini tidak membenarkan sikap pengkhianatan, menyakiti, hingga menghancurkan orang lain, Beauties.

Berlindung di balik tameng "trauma" untuk menyakiti orang lain pada akhirnya juga bisa merugikan diri sendiri.

"Memanfaatkan trauma sebagai alasan untuk melakukan perilaku yang merugikan tidak hanya berarti menghindari tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan, tetapi juga menghalangi penyembuhan dan pertumbuhan dari trauma dengan berpegang teguh pada identitas sebagai korban," ungkap Cullen.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pria yang hidup sendiri rentan terkena penyakit

Ilustrasi/Foto: Freepik/Racool_studio

Menurut Cullen, tentu, sembuh dan bisa berdamai dari trauma bukanlah proses yang mudah dan sederhana bagi sejumlah orang. Meminta individu terkait bertanggung jawab atas perilakunya yang menyakiti orang lain juga bermaksud untuk melupakan dampak trauma yang dialaminya.

"Namun, kita perlu meminta pertanggungjawaban atas tindakan mereka [seseorang yang mengalami trauma], dan tidak memaafkan perilaku yang merusak atas dasar bahwa pihak yang bersalah telah mengalami trauma masa lalu," papar Cullen.

Lebih lanjut, setiap orang bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, tak terkecuali orang yang mengalami trauma.

"Kita yang telah mengalami trauma berutang pada diri kita sendiri dan satu sama lain untuk bertanggung jawab atas perilaku kita. Ini adalah langkah penting untuk menghentikan siklus penderitaan dan menciptakan lingkungan di mana trauma tidak lagi menjadi alasan untuk menyakiti atau melanggengkan kekerasan," ujar Cullen.

Lantas, apa yang bisa dilakukan jika seseorang mengalami trauma? Selain mencari bantuan dan mendapatkan pengobatan dari tenaga ahli, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dari dalam diri sendiri.

"Kita dapat bersimpati pada diri kita sendiri, atas apa yang telah kita alami, dan juga menunjukkan pengendalian diri yang diperlukan untuk menahan diri dari mengabadikan rasa sakit apa pun yang telah kita alami sendiri karena orang lain," ujar Cullen.

"Kita dapat melakukannya melalui strategi pengaturan diri, mulai dari bernapas dalam dan meditasi hingga berolahraga secara intens, membicarakannya dengan teman atau terapis yang dapat dipercaya, menulis ekspresif atau membuat karya seni, menjauhkan diri dari situasi yang memicu, mengurangi asupan zat yang mengubah pikiran, dan menjadikan tidur yang lebih baik sebagai prioritas," tutup Cullen.

Ingat, Beauties. Sembuh dan bisa berdamai dari trauma memang bukanlah hal yang mudah, tapi bukan berarti mustahil. Selain itu, kita tidak bisa akan maju dan sembuh jika kita terus bersembunyi di balik tameng "korban akibat trauma". Bukan hal yang bijak atau benar jika kita menggunakan kata trauma sebagai senjata untuk menyakiti orang lain.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE