BILLBOARD
970x250

Terus Dikawal, Ini 11 Poin Penting UU TPKS yang Wajib Kamu Ketahui!

Nadya Quamila | Beautynesia
Kamis, 14 Apr 2022 14:00 WIB
Terus Dikawal, Ini 11 Poin Penting UU TPKS yang Wajib Kamu Ketahui!

Setelah perjalanan yang berliku selama 10 tahun lamanya, akhirnya Indonesia kini memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang pada Selasa (12/4) lalu.

Disahkannya UU TPKS membawa harapan bagi masyarakat Indonesia untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi ruang untuk segala jenis kekerasan seksual di Tanah Air. Banyak kalangan yang menyambut positif UU TPKS untuk melindungi dan memperjuangkan keadilan bagi para korban dan penyintas.

Namun, perjuangan belum berakhir, Beauties. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia harus memastikan penegakan atau implementasi UU TPKS dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dalam memberantas kekerasan seksual. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui beberapa poin penting dari UU TPKS yang telah disahkan. Yuk, simak berikut ini!

9 Jenis Kekerasan Seksual yang Diatur di UU TPKS

Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual di Dunia Siber/Foto: Freepik.com/WayhomestudioIlustrasi kekerasan seksual/Foto: Freepik.com/Wayhomestudio

RUU TPKS memasukkan sembilan jenis kekerasan seksual yang bisa dijerat pidana. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri dari pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Adapun hukuman yang diberikan kepada pelaku ialah pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak sebesar Rp10 juta.

Melindungi Korban Revenge Porn

Jangan panik ketika menjadi korban revenge porn/Foto: Pexels.com/Engin AkyrutIlustrasi korban kekerasan seksual/Foto: Pexels.com/Engin Akyrut

Dalam Pasal 4 Ayat (1) yang disebutkan di atas, salah satu bentuk kekerasan seksual di dalamnya adalah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Salah satu bentuk dari KSBE adalah revenge porn, yaitu tindakan seseorang menyebarkan video, foto maupun konten seksual sebagai bentuk usaha balas dendam. 

Melansir dari CNN Indonesia, dalam pasal yang mengatur KSBE, pihak yang merekam, menguntit, mengambil gambar, dan menyebarluaskannya dalam bentuk gambar pornografi bisa dipenjara empat tahun, dan denda maksimal hingga Rp200-300 juta jika dimaksudnya untuk memeras.

Penanganan Kekerasan Seksual Berorientasi Korban

Dilansir dari CNN Indonesia, Pasal 3 UU TPKS mengatur soal substansi dalam UU tersebut. Di dalamnya antara lain menyebutkan, substansi UU TPKS adalah untuk mencegah kekerasan seksual; menangani hingga memulihkan korban; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin kekerasan seksual tak berulang.

Pelaku Pemaksaan Perkawinan Bisa Dijerat Pidana

Bahaya Pernikahan Pada Anak/Foto: Pexels.com/federick-medinaIlustrasi pernikahan/Foto: Pexels.com/federick-medina/ Foto: Sherley Gucci

UU TPKS juga mengatur perihal pelaku pemaksaan perkawinan dapat terancam jerat pidana. Adapun yang termasuk dalam pemaksaan perkawinan adalah perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) yang berbunyi:

Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pemaksaan Hubungan Seksual Bisa Dikenai Denda dan Pidana

Seseorang yang melakukan pemaksaan hubungan seksual juga bisa dikenai denda dan pidana, Beauties! Hal tersebut diatur dalam Pasal 6, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana karena pemaksaan sterilisasi dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200 juta.

Kemudahan Pelaporan hingga Dana Restitusi bagi Korban
Ilustrasi Perempuan Menolak FGM/ Foto: Canva/ doidam10

Keterangan Saksi atau Korban dan 1 Alat Bukti Sudah Cukup Menentukan Terdakwa

Kekerasan dalam pacaranIlustrasi korban kekerasan seksual/Foto: pexels.com/rodnae-productions

Selama ini, kasus kekerasan seksual banyak yang tidak berujung pada keadilan karena terhambat perihal keterangan saksi atau kurangnya alat bukti. Namun, hadirnya UU TPKS dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Dalam Pasal 20, disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1 alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa. Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudahan Pelaporan

UU TPKS juga mempermudah pelaporan soal kekerasan seksual. Bagi korban atau siapapun yang mengetahui atau melihat kekerasan seksual bisa melaporkannya ke UPTD PPA, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, termasuk kepolisian. Kemudian pada pasal 42 disebutkan, dalam waktu 1x24 jam, pelapor atau korban berhak menerima perlindungan oleh aparat kepolisian, sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.

Selama kurun waktu itu, polisi berhak membatasi gerak pelaku, baik membatasi atau menjauhkan korban dengan pelaku maupun hak lain. Selanjutnya, sejak perlindungan sementara kepolisian wajib mengajukan permintaan perlindungan kepada LPSK.

Korban Mendapatkan Hak Perlindungan hingga Pemulihan

Belajar dari Kasus Novia Widyasari, Lakukan Ini Jika Mengalami Kekerasan Seksual!/Pexels/Polina ZimmermanIlustrasi korban kekerasan seksual/Foto: Pexels/Polina Zimmerman

Dalam pasal 67, korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, meliputi hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Pemenuhan atas hak tersebut merupakan kewajiban negara sesuai kondisi dan kebutuhan korban, dikutip dari CNN Indonesia.

Hak atas penanganan misalnya, mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban.

Kemudian hak perlindungan meliputi, kerahasiaan identitas, tindakan merendahkan oleh aparat yang menangani kasus, hingga perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.

Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan.

Korporasi yang Melakukan TPKS Bisa Dikenai Denda dan Pidana

Kekerasan seksual juga banyak terjadi di lingkungan korporasi. Seringnya, kekerasan seksual terjadi di lingkungan ini karena adanya ketimpangan relasi kuasa, ketidaksetaraan gender, serta pelaku tidak mendapatkan konsekuensi atas tindakan yang dilakukan.

Namun, Pasal 13 dalam UU TPKS menjelaskan bahwa pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenakan denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar. Pihak korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran restitusi, pembiayaan pelatihan kerja, hingga perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS.

Bahkan, pihak korporasi juga bisa dijatuhi pidana berupa pencabutan izin tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan, serta pembubaran korporasi.

Tidak Ada Restorative Justice

UU TPKS juga mengatur agar restorative justice, seperti mediasi, tidak berlaku dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual. Sebagai informasi, restorative justice adalah satu dari sekian pendekatan di dunia hukum untuk mengurangi kejahatan. Bisa dikatakan sebagai jalur damai bagi terdakwa atas kerelaan korban, dikutip dari detikcom.

Dana Restitusi bagi Korban

Saat ini sudah banyak pula kelompok-kelompok penyintas kekerasan seksual yang bisa kamu jadikan tempat mencurahkan isi hati dan pikiran.Ilustrasi korban kekerasan seksual/Foto: Freepik.com

Pasal 30 UU TPKS mengatur soal hak restitusi atau ganti kerugian yang didapat korban kekerasan seksual. Dana restitusi diberikan atas putusan hakim yang menetapkan pelaku bersalah.

Nantinya, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku kekerasan seksual atas izin pengadilan negeri setempat. Namun, restitusi dapat dikembalikan jika perkara tidak jadi dituntut karena tak cukup bukti.

"berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum," demikian bunyi poin b pasal 32, seperti dilansir dari CNN Indonesia.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE