5 Tanda Kamu Terlalu Keras sama Diri Sendiri

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Minggu, 12 Oct 2025 19:30 WIB
5 Tanda Kamu Terlalu Keras sama Diri Sendiri
Mengenali tanda-tanda terlalu keras pada diri sendiri membantu kita lebih memahami pentingnya self-love/Foto: Unsplash/Iris Wang

Di tengah tekanan hidup modern dan ekspektasi yang kian tinggi, banyak orang tanpa sadar menuntut dirinya melebih batas wajar. Sikap terlalu keras pada diri sendiri ini membuat seseorang selalu merasa belum cukup baik, meskipun sudah berusaha maksimal.

Jika dibiarkan, gejala self-sabotage ini bisa menggerogoti kesehatan mental maupun fisik sehingga membuat hidup terasa makin berat. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda ketika diri mulai terjebak dalam pola ini.

Dilansir dari Erica Hanlon Coaching, ada 5 tanda utama yang menunjukkan bahwa seseorang mungkin sedang terlalu keras pada diri sendiri dan kurang memahami konsep self-love.

Mengingat-ingat Setiap Kesalahan Kecil

Kadang kita jadi terlalu keras pada diri sendiri hanya karena mengingat kesalahan kecil di masa lalu. Padahal, semua orang pernah keliru dan itu bukan tanda kelemahan. Justru dari situlah kita belajar dan tumbuh lebih bijak.
Kadang kita tanpa sadar bisa terlalu keras pada diri sendiri hanya karena mengingat kesalahan kecil/Foto: Unsplash/Vitaly Gariev

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Entah itu melewatkan tenggat waktu, mengucapkan hal aneh dalam percakapan, atau melakukan sesuatu yang membuat kita merasa tidak disukai oleh semua orang. Hal-hal seperti itu sering membuat hidup terasa penuh dengan rasa malu dan penyesalan.

Masalahnya, kalau kita terus-menerus memutar ulang kesalahan itu di kepala, kita jadi melihat diri sendiri sebagai kumpulan kegagalan. Bahkan, pada akhirnya, gejala self-sabotage ini membuat kita bisa-bisa percaya bahwa keberhasilan yang didapat hanyalah keberuntungan semata, bukan hasil kemampuan kita.

Padahal kenyataannya, orang-orang sukses bukan berarti jarang salah, bahkan mereka justru lebih sering salah. Bedanya, mereka tidak menjadikan kesalahan itu sebagai alat untuk menghukum diri sendiri. Sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai data penting untuk belajar dan memperbaiki diri di kesempatan berikutnya.

Kesalahan tidak bisa dihindari, tetapi penyesalan selalu bisa dipilih. Oleh karena itu, kamu bisa membiarkan kesalahan terjadi, tetapi tetap ambil pelajaran darinya, perbaiki jika memungkinkan, lalu melangkah lagi ke depan.

Hanya Beristirahat atau Bersenang-senang Setelah Menyelesaikan Semua Hal Lain

Menganggap istirahat hanya boleh dilakukan setelah semua pekerjaan rampung bisa jadi gejala self sabotage/Foto: Unsplash/Resume Genius

Banyak orang sering merasa bersalah ketika beristirahat atau bersenang-senang sementara daftar tugas masih menumpuk. Bagi mereka, istirahat seolah dianggap sebagai hadiah yang hanya boleh dinikmati setelah semua pekerjaan selesai.

Pola pikir seperti itu justru membuat kita menahan diri bukan hanya dari waktu rehat, tetapi juga dari kesenangan dan kebahagiaan kecil dalam hidup. Lagi pula—mari jujur sedikit pada diri sendiri—apakah daftar tugas itu pernah benar-benar selesai? Hampir tidak pernah, bukan?

Mudah Menerima Kelalaian Orang Lain, Sulit Memaklumi Kesalahan Diri Sendiri

Sering kali kita mudah memaklumi kesalahan orang lain, tetapi justru terlalu keras pada diri sendiri/Foto: Freepik/jcomp

Sering kali, ketika orang lain berbuat salah, kita bisa dengan mudah memaklumi. Rasanya wajar saja, karena kesalahan adalah bagian dari hidup dan semua orang pasti mengalaminya. Namun, saat diri sendiri yang keliru, reaksi yang muncul justru sangat keras, mulai dari menyalahkan diri, mempertanyakan kemampuan, bahkan merasa seolah-olah kesalahan kecil adalah tanda kegagalan besar.

Fenomena ini biasanya muncul karena harga diri jadi terlalu melekat pada performa sehingga setiap kesalahan terasa seperti bukti kegagalan pribadi. Padahal kesalahan seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk belajar, bertumbuh, dan yang paling penting untuk mencintai diri sendiri dengan lebih dalam.

Ingat, jika sesuatu itu tidak pantas diucapkan kepada orang yang kita sayangi, maka jangan pula kita ucapkan kepada diri sendiri. Menghadapi kesalahan dengan kasih sayang pada diri akan membuat proses belajar menjadi lebih ringan, sehat, dan bermakna.

Terus-Menerus Merasa “Tertinggal” atau Gagal

Banyak orang terjebak pada standar sempurna hingga jadi terlalu keras pada diri sendiri/Foto: Freepik/DC Studio

Banyak orang mengira sukses adalah sesuatu yang hanya bisa diraih jika semua tugas dalam daftar selesai, semuanya berjalan sempurna, atau ketika ada orang lain yang memberi tepuk tangan. Padahal, sukses jauh lebih sederhana dari itu.

Menyelesaikan sebagian tugas juga sebuah pencapaian. Masih menyisakan ratusan email tak terbaca, tetapi berhasil menuntaskan yang paling penting, itu pun patut dihargai. Sama halnya dengan berolahraga dua kali dari target empat kali, atau menunda pekerjaan tetapi tetap bisa menyelesaikannya tepat waktu, semua itu juga merupakan bentuk keberhasilan.

Masalahnya muncul ketika kita mengukur sukses hanya dari kesempurnaan. Hasilnya, kita selalu merasa tidak cukup, sampai akhirnya melihat diri sendiri pun menjadi serba “kurang”. Alih-alih terjebak pada standar mustahil itu, jauh lebih sehat kalau kita menoleh ke belakang sebentar, menyadari sejauh apa kita sudah melangkah, lalu memberi diri sendiri apresiasi.

Kesulitan Mengambil Keputusan

Tekanan untuk selalu memilih jalan benar membuat banyak orang terlalu keras pada diri sendiri/Foto: Freepik/karlyukav

Membuat keputusan sering kali jadi tantangan besar, terutama bagi mereka yang dulu terbiasa menjadi murid teladan. Pola pikir sekolah menanamkan keyakinan bahwa selalu ada satu jawaban benar yang membawa nilai terbaik, dan jawaban itu pasti bisa ditemukan entah di buku pelajaran, di penjelasan guru, atau di penelitian ilmiah. Di saat yang sama, sekolah juga menanamkan pandangan bahwa gagal adalah sesuatu yang buruk sekali.

Masalahnya, hidup tidak bekerja sesuai dengan aturan sekolah. Dalam kehidupan nyata, keputusan tidak datang dengan kunci jawaban yang pasti sehingga setiap pilihan akan terasa membingungkan.

Tekanan untuk memilih jalan yang “benar” sering kali begitu besar karena kita cenderung menghukum diri sendiri ketika hasilnya tidak sesuai harapan. Akhirnya, alih-alih melangkah, banyak orang justru terjebak di tempat yang sama meskipun sebenarnya keadaan itu tidak membuat mereka bahagia.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE