Kasus pemerkosaan yang dilakukan oknum pegawai negeri sipil (PNS) terhadap pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) bikin publik geger. Dugaan kasus asusila ini terjadi pada 2019 silam, namun kembali mencuat usai korban berinisial ND kembali membuka kasusnya dan mengajukan praperadilan atas keputusan penghentian kasus oleh Polresta Bogor pada 2020.
Di tahun 2019, polisi mendapat aduan dari ayah korban dengan isi aduan terkait tindakan asusila yang dialami ND. Setelah laporan dibuat, terduga asusila yang berjumlah 4 orang sempat ditahan dengan dugaan tindak asusila selama 21 hari oleh pihak Polres Kota Bogor pada Februari 2020. Satu bulan setelahnya, polisi memberhentikan penyelidikan kasus usai pelaku dan korban disebut telah berdamai.
Kronologi Kasus Pemerkosaan Pegawai Kemenkop
Dilansir dari detikNews, pelecehan diduga terjadi pada 5-6 Desember 2019 saat Kemenkop melakukan kegiatan di luar kantor yang diikuti oleh Bidang Kepegawaian. Korban berinisial ND menjadi salah satu pesertanya.
Pada 5 Desember 2019, usai kegiatan, sekitar pukul 23.30 WIB, ND beserta tujuh orang lainnya makan di sebuah restoran. Pada 6 Desember 2019, sekitar pukul 04.00 WIB, ND kembali ke hotel.
"Setelah kembali ke hotel terjadi dugaan tindak asusila oleh empat orang, W, Z, MF, dan N, terhadap ND di dalam kamar di sebuah hotel di Bogor," ungkap Sekretaris Kemenkop UKM, Arif Rahman Hakim di Kemenkop UKM, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (24/10).
Kemudian pada 20 Desember 2019, Arif mengatakan orangtua korban yang juga pegawai di Kemenkop melaporkan adanya pelecehan seksual yang dialami anaknya. Usai mendapat laporan itu, pihaknya langsung memberikan pendampingan kepada ND.
"Saudari ND setelah ada pengaduan dari Biro Kepegawaian mendampingi, ND didampingi Kasubbag bagian kepegawaian, membuat laporan kepada polisi, melapor ke polisi, di sini ke Polres Kota Bogor," katanya.
Pada 30 Desember 2019, bidang kepegawaian melakukan pemanggilan kepada dua pelaku. Pada 1 Januari 2020, Polres Bogor mulai melakukan penyelidikan dengan memanggil empat terduga pelaku.
Pada 13 Februari 2020, empat terduga pelaku ditahan selama 21 hari oleh Polres Bogor Kota. Pada 14 Februari 2020, Kemenkop memberikan sanksi pemutusan kontrak kepada pelaku MF dan N yang berstatus non-ASN. Sedangkan W dan Z diberi sanksi turun jabatan dari kelas jabatan 7 ke kelas jabatan 3.
Di bulan Maret, pelaku diproses dan ditangguhkan dari tahanan serta diwajibkan lapor 2 kali seminggu. Arif mengatakan kasus tersebut selesai dengan mediasi antara korban dengan pelaku. Kemudian, pada 13 April 2020, korban ND menikah dengan pelaku Z.
"Setelah tercapai kesepakatan antara keluarga korban dan pelaku untuk diselesaikan secara kekeluargaan, pihak kepolisian terbitkan SP3," katanya.
Keluarga Korban Bantah Berdamai
Adanya kesepakatan damai tersebut dibantah oleh pihak korban. Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM (TAKON Kemenkop) mewakili pihak keluarga membantah klaim yang disampaikan Kemenkop UKM.
Koordinator TAKON Kemenkop, Kustiah Hasim, mengatakan kakak korban menyebut klaim fakta tersebut tak berdasar kebenaran alias bohong.
Kustiah memaparkan bahwa ide terkait pernikahan pelaku dengan korban didorong oleh pihak kepolisian, bukan dari keluarga atau orangtua korban. Pernikahan inilah yang akhirnya menjadi dasar penerbitan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan oleh Polresta Bogor. Padahal, menurut Kustiah, pihak keluarga korban tidak pernah mengetahui perihal SP3 tersebut.
Selain itu, pihak keluarga juga membantah soal pengunduran diri korban. Justru, kakak korban menanyakan alasan mengapa korban tidak diperpanjang masa kerjanya alias tidak dipekerjakan lagi di Kemenkop UKM.
"Korban tidak pernah membuat surat (pengunduran diri) tersebut. Perusahaan tempat korban bekerja sekarang bahkan diminta dibuatkan slip gaji palsu korban untuk memuluskan skenario jahat pengunduran diri," sambung Kustiah, dikutip dari detikNews.
Lalu soal surat permintaan keringanan pengenaan sanksi bagi pelaku yang diklaim dibuat orang tua korban. Kustiah menegaskan orang tua korban mengaku tidak pernah membuat surat tersebut.
"Kakak korban menjelaskan ayah korban tidak membuat surat (permintaan keringanan pengenaan sanksi) ke Sesmen. Jadi sejumlah pernyataan ini membantah klaim yang disampaikan pihak Kemenkop UKM," tegasnya.