Hari Perempuan Internasional: Kekuatan dan Keteguhan Hati Perempuan Palestina di Tengah Serangan Israel
Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD) diperingati setiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya. Tujuan merayakan Hari Perempuan Internasional adalah untuk mengapresiasi prestasi yang dicapai perempuan tanpa memandang perbedaan, baik kebangsaan, etnis, bahasa, budaya, ekonomi atau politik.
Setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan kesempatan yang sama seperti pria. Baik itu dalam bidang pendidikan, karier, kesehatan, hingga rasa aman dalam menjalani kehidupan.
Namun, rasa aman tampaknya seolah asing bagi perempuan Palestina. Sejak serangan brutal yang dilancarkan Israel sejak 7 Oktober 2023, kaum perempuan dan anak-anak adalah yang paling merasakan dampaknya.
Hampir 30 ribu warga Palestina yang terbunuh akibat serangan keji Israel, 70 persennya adalah perempuan dan anak perempuan. Dikutip dari Al Jazeera Plus, dua ibu terbunuh setiap jamnya.
Jeritan Pilu Perempuan Palestina di Tengah Serangan Israel
Terpaksa Gunakan Potongan Kain Tenda Sebagai Pengganti Pembalut saat Menstruasi
Bagi perempuan Gaza, ada tantangan berlapis yang mereka hadapi, salah satunya soal isu kebersihan menstruasi. Perempuan di Gaza kesulitan menemukan produk menstruasi hingga air bersih.
Dilaporkan ActionAid, beberapa perempuan di Gaza yang mengungsi di Rafah bahkan sampai harus menggunakan potongan kain tenda sebagai pembalut ketika menstruasi. Tenda tersebut mereka gunakan untuk berteduh dari dinginnya hujan dan panasnya matahari. Tentu, potongan kain tenda tersebut bisa menimbulkan risiko infeksi.
Kurangnya air membuat perempuan Gaza hampir mustahil untuk menjaga kebersihan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka sudah berminggu-minggu tidak mandi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan sekitar 700 ribu perempuan dan anak perempuan di Gaza mengalami siklus menstruasi, tetapi saat ini mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap produk-produk kebersihan dasar seperti pembalut, tisu toilet atau bahkan air mengalir dan toilet.
Kondisi ini membuat perempuan dan anak perempuan di Gaza pada risiko infeksi reproduksi dan saluran kemih, menurut PBB.
Perempuan Gaza Terpaksa Minum Obat Penunda Menstruasi di Tengah Gempuran Israel
Perempuan Gaza Terpaksa Minum Obat Penunda Menstruasi di Tengah Gempuran Israel /Foto: AFP via Getty Images/SAID KHATIB
Ketika menstruasi, beberapa perempuan harus menghadapi beberapa ketidaknyamanan, seperti sakit kepala, nyeri sendi, nyeri perut dan punggung. Bagi perempuan Gaza, rasa sakit tidak hanya soal fisik. Namun ada pula tekanan psikologis, seperti rasa cemas dan ketakutan terus-menerus akibat gempuran dari Israel.
“Mengalami menstruasi saat mengungsi di sekolah penampungan terasa seperti mimpi buruk,” kata seorang perempuan bernama Noor kepada Al Jazeera. “Tidak ada selimut, tidak ada kasur yang nyaman, tidak ada pembalut, tidak ada obat pereda nyeri, dan tidak ada akses air panas untuk membuat minuman yang menenangkan."
“Beberapa anak perempuan di tempat penampungan ini terpaksa meminum obat untuk mencegah menstruasi mereka, dengan tujuan untuk menghindari rasa malu dan rasa sakit yang bertambah,” tambahnya.
Bagi mereka yang sedang menstruasi tetapi tidak memiliki akses terhadap produk sanitasi, mereka terpaksa mencuci dan menggunakan kembali pembalut yang telah dipakai sebelumnya. Hal ini tentu bisa membahayakan kesehatan mereka karena potensi kontaminasi.
PBB Ungkap Perempuan Palestina yang Disandera Israel Alami Penyiksaan hingga Pelecehan Seksual
PBB Ungkap Perempuan Palestina yang Disandera Israel Alami Penyiksaan hingga Pelecehan Seksual /Foto: Anadolu via Getty Images/Anadolu Agency
antor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Senin (19/2) bahwa mereka telah menerima informasi perempuan dan anak perempuan Palestina "dilaporkan telah dieksekusi secara sewenang-wenang di Gaza, sering kali bersama dengan anggota keluarga mereka, termasuk anak-anak mereka", sebagaimana dilansir dari Al Jazeera.
Menurut OHCHR, perempuan dan anak perempuan di Gaza mengalami pembunuhan di luar proses hukum, penahanan sewenang-wenang, perlakuan yang merendahkan martabat, pemerkosaan, dan kekerasan seksual.
Para ahli PBB mengatakan mereka terkejut dengan laporan mengenai penargetan yang disengaja dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap perempuan dan anak-anak Palestina di tempat-tempat di mana mereka mencari perlindungan atau ketika melarikan diri. Beberapa dari mereka dilaporkan memegang kain putih ketika mereka dibunuh oleh tentara Israel.
Para ahli PBB khawatir atas penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan perempuan dan anak perempuan Palestina, termasuk pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan di Gaza dan Tepi Barat.
Banyak di antara mereka yang dilaporkan menjadi sasaran perlakuan tidak manusiawi. Misalnya tidak diberikan pembalut saat menstruasi, makanan dan obat-obatan, serta menderita pemukulan yang parah, kata OHCHR.
Bahkan, perempuan Palestina yang ditahan di Gaza oleh pasukan Israel diduga dikurung di dalam kandang di tengah hujan dan kedinginan, tanpa diberikan makanan.
“Kami sangat tertekan dengan laporan bahwa perempuan dan anak perempuan Palestina yang ditahan juga menjadi sasaran berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti ditelanjangi dan digeledah oleh petugas tentara pria Israel. Setidaknya dua tahanan perempuan Palestina dilaporkan diperkosa sementara yang lain dilaporkan diancam dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual,” kata para ahli PBB, dikutip dari Al Jazeera.
Mereka mencatat bahwa foto-foto tahanan perempuan dalam kondisi yang direndahkan juga dilaporkan diambil oleh tentara Israel dan diunggah secara online.
Tak hanya kekerasan, sejumlah perempuan dan anak-anak Palestina, termasuk anak perempuan, dilaporkan hilang setelah kontak dengan tentara Israel di Gaza, kata para ahli.
Sebelumnyam aktivis muda asal Palestina Ahed Tamimi sempat angkat bicara usai dibebaskan dari penjara Israel pada Rabu (29/11/2023) malam waktu setempat. Perempuan berusia 22 tahun itu masuk ke dalam daftar 30 tahanan yang dibebaskan Israel.
Tamimi menceritakan penderitaannya selama ditahan di Penjara Damon Israel. Ia mengaku pejabat Israel telah memperingatkannya untuk tidak berbicara secara terbuka mengenai masa penahanannya di penjara. Jika Tamimi berani berbicara, Israel mengancam akan ada hal buruk terjadi pada orang-orang yang dicintainya.
Tamimi juga membeberkan kondisi para tahanan perempuan di penjara Israel. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada makanan, air, dan pakaian untuk mereka. Tamimi menyebut bahwa keadaan di sana sangat buruk dan tidak manusiawi. Tak hanya itu, para tahanan juga disiksa oleh pihak berwenang
1 dari 5 Ibu Hamil di Gaza Alami Kekurangan Gizi
1 dari 5 Ibu Hamil di Gaza Alami Kekurangan Gizi/Foto: dpa/picture alliance via Getty I/picture alliance
Satu dari lima ibu hamil yang dirawat di sebuah klinik pusat di Gaza mengalami kekurangan gizi karena kekurangan bahan bakar dan pasokan medis menutup rumah sakit terakhir yang beroperasi di bagian utara jalur tersebut.
“Setiap hari, kami melihat perempuan dan anak-anak datang ke klinik kami karena menderita kekurangan gizi akut,” kata Dr Maram, dokter utama Project Hope, dilansir dari The Guardian.
“Ketika penyakit menular menyebar di daerah padat penduduk dan makanan menjadi semakin langka, kita akan melihat semakin banyak orang yang mengalami kelaparan, termasuk para petugas kesehatan yang berupaya membantu. Saya khawatir setiap hari karena saya tidak akan menemukan apa pun untuk dimakan,” kata Dr Maram.
Keteguhan Hati Perempuan Palestina
Keteguhan Hati Perempuan Palestina/Foto: Europa Press via Getty Images/Europa Press News
Kedua tangan seorang ibu di Palestina yang memeluk anaknya yang telah tiada atau bahkan menguburkan sang anak, menatap rumah yang dihuni menjadi puing-puing, menahan rasa lapar karena bantuan yang terhambat, hingga kekerasan yang harus dialami.
Dari berbagai tantangan dan situasi mencekam yang melanda, perempuan Palestina tetap berdiri tegar dengan keteguhan hati yang luar biasa.
Tak hanya itu, sejak lama, perempuan Palestina telah mengambil peran dalam gerakan perlawanan. Dari Tarab Abdul Hadi, seorang feminis Palestina yang lahir di Jenin pada tahun 1910 yang mendirikan Kongres Perempuan Palestina yang menentang pendudukan Mandat Inggris di Palestina, hingga Fatima Bernawi yang merupakan salah satu orang pertama yang melakukan mobilisasi melawan penjajahan Israel dan merupakan perempuan politik Palestina pertama yang ditawan, dilansir dari The New Arab.
Ada pula Ahed Tamimi yang menjadi terkenal pada tahun 2017 ketika dia menampar seorang tentara Israel yang menyerbu desa Nabi Saleh di Tepi Barat. Selama bertahun-tahun, keluarga Tamimi memprotes perampasan tanah oleh Israel di daerah tersebut.
Setelah menampar tentara tersebut, Tamimi yang berusia 16 tahun dijatuhi hukuman delapan bulan penjara. Karena keberaniannya, Ahed Tamimi menjadi salah satu ikon perlawanan di Palestina.
Di Hari Perempuan Internasional ini dan seterusnya, mari kita apresiasi dan ingat betapa penting dan kuatnya peran perempuan Palestina dalam melawan, bertahan, dan berjuang di tengah serangan Israel.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!