Setelah jalan panjang memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak 2019, akhirnya Baleg RI kembali melakukan pembahasan. Sayang hasilnya, draft undang-undang tersebut malah dipangkas. Hal pertama yang paling nyata adalah perubahan nama. Dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, menjadi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Perubahan nama ini tentu berdampak pada pasal-pasal di bawahnya. Menurut rilis yang Beautynesia terima dari KOMPAKS, Kamis, (2/9/2021) Perubahan judul ini memiliki dampak serius terhadap materi muatan RUU secara keseluruhan. Dengan terminologi 'penghapusan' RUU PKS memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual, sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI, sesuai dengan namanya, menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.
Ada prinsip dan hal subtansial yang hilang dari Draft RUU PKS terbaru ini.
1. Pada draft RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum
Pasal 1 angka 12 yang berbunyi: "Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif"
Namun tak dijelaskan lagi lebih detail, apa hak-hak yang bisa diterima korban selama proses hukum berlangsung hingga pemulihan. hal ini dikhawatirkan hilangnya jaminan keselamatan dan pemulihan korban selama proses peradilan pidana.
2. Penghapusan Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual
Menghilangnya banyak jenis kekerasan seksual berarti tidak mengakui banyaknya pengalaman kekerasan seksual yang dialami korban. Itu akan sangat berpengaruh pada hak korban mendapatkan keadilan.
3. Penghalusan Definisi Perkosaan Menjadi Pemaksaan Hubungan Seksual
Memperhalus kata 'perkosaan' akan memancing logical fallacy atau kesalahan berpikir dan memungkinkan kekerasan seksual terjadi lagi. Hal ini akan berdampak negatif pada pemaknaan peristiwa tersebut, menghambat pemenuhan hak bagi korban, dan melanggengkan praktik diskriminasi dan ketidakadilan bagi korban di proses peradilan dan masyarakat.
4. Kekerasan Seksual Berbasis Online atau KBGO tak diatur sama sekali
Padahal angka Kekerasan seksual berbasis online sangat meningkat. Berdasarkan publikasi SAFEnet, terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet selama tahun 2020. Jumlah laporan tersebut merupakan hasil peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019. Tak adanya peraturan yang mengatur KBGO akan menjadi celah bagi para pelaku kekerasan seksual untuk melakukan kejahatan. Dan sekali lagi, korban sulit mendapatkan keadilan.
5. Korban dengan disabilitas tak terlindungi
Di dalam draft terbaru sama sekali tidak menyebut korban dengan disabilitas. Padahal mereka memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas. Padahal secara faktual, korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang khusus dan berbeda-beda tergantung pada jenis disabilitas yang dimiliki, termasuk namun tidak terbatas pada kebutuhan aksesibilitas informasi melalui Juru Bahasa Isyarat selama berjalannya proses hukum dan pendampingan/konseling psikologis yang harus disesuaikan dengan kebutuhan korban dengan disabilitas. Selain aksesibilitas, perlindungan tentang validitas alat bukti, sistem delik aduan, dan poin khusus mengenai ragam disabilitas tidak disebutkan. Padahal masing-masing ragam disabilitas memiliki kebutuhan dan pendekatan penanganan yang berbeda mulai dari pelaporan, penanganan hingga pemulihannya.
Tuntutan KOMPAKS untuk DPR RI
Dengan berbagai pertimbangan di atas, KOMPAKS dalam rilisnya juga mengeluarkan sejumlah tuntutan. Berikut isinya.
1. Membuka ruang usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan naskah RUU PKS;
2. Memasukkan ketentuan yang mengakomodir kepentingan korban yakni pemenuhan hak perlindungan, hak pendampingan, dan hak pemulihan korban sebagaimana yang diusulkan melalui naskah akademik dan draf RUU PKS yang disusun oleh masyarakat sipil;
3. Memasukkan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual;
4. Memasukkan ketentuan tindak pidana Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Online sebagai bentuk pengakuan terhadap pengalaman korban kekerasan seksual yang beragam dan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif; dan
5. Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.
Semoga tuntutan KOMPAKS ini bisa didengar oleh para Anggota Dewan yang Terhormat ya Beauties. Karena RUU ini dibuat untuk melindungi kita juga masa depan bangsa ke depannya. Jangan sampai ada lagi korban-korban kekerasan seksual yang tak mendapatkan keadilan.