Kisah Pilu Pekerja Anak di Kongo: Jadi Korban Eksploitasi hingga Alami Kekerasan Seksual
Eksploitasi pekerja anak adalah sebuah masalah yang dihadapi berbagai negara di dunia. Menurut UNICEF, sekitar 160 juta anak menjadi sasaran pekerja anak pada awal 2020, dengan tambahan 9 juta anak berisiko akibat dampak COVID-19. Pekerjaan yang dilakukan pun tak jarang tergolong berbahaya yang secara langsung dapat membahayakan kesehatan dan perkembangan moral mereka.
Menjadi pekerja anak adalah hal yang mau tak mau harus dijalankan Solange, perempuan asal Kongo. Hari masih gelap ketika ia harus meninggalkan rumah pada pukul 5 pagi untuk bekerja di area pertambangan di Kongo. Dengan tangannya, ia menggali bijih logam hitam kusam atau yang disebut dengan coltan, yaitu salah satu bahan tambang yang digunakan untuk membuat alat elektronik, termasuk smartphone.
Kekerasan dan konflik politik selama bertahun-tahun di Kongo telah membuat kekayaan mineralnya yang besar menjadi sumber pendapatan yang menarik. Akhirnya, tak sedikit pihak yang rela untuk melakukan apapun demi menguasai pasokan tersebut, tak terkecuali eksploitasi pekerja anak.
A child and a woman break rocks extracted from a cobalt mine at a copper quarry and cobalt pit in Lubumbashi on May 23, 2016. - The price of copper has fallen heavily, directly impacting workers in the town. (Photo by JUNIOR KANNAH / AFP) (Photo by JUNIOR KANNAH/AFP via Getty Images)/ Foto: AFP via Getty Images/JUNIOR KANNAH |
Solange adalah salah satu dari sekian banyak anak di Kongo yang menjadi korban eksploitasi demi keuntungan pihak tertentu. Ia mulai bekerja di pertambangan ketika dia baru berusia 11 tahun. Pada usia 14 tahun, dia sudah menikah. Ketika berusia 17 tahun, Solange sudah menjadi janda dan ibu dari dua anak pria berusia satu dan dua tahun.
Ada 53 pekerja di lokasi tambang di Kivu Utara, Kongo, termasuk 32 perempuan seperti Solange. Ia tergabung dalam tim yang terdiri dari 18 pekerja pria. Ia pun menggali coltan bersama rekan kerjanya sepanjang hari hingga makan malam bersama.
Sebagian besar pekerja tambang berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Namun, dibandingkan pekerja lain di timnya, Solange termasuk yang beruntung bisa merasakan bangku pendidikan. Ia berhasil tamat SMA, bahkan melanjutkan ke bangku kuliah. Namun, ia tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan gelar dari universitas.
"Karena saya adalah putri tertua, saya bertanggung jawab atas adik pria saya. Saya mulai bekerja di pertambangan karena orang tua saya tidak mampu membayar biaya kuliah saya," ungkap Solange, dikutip dari ABC News.
Alami Kekerasan Seksual oleh Pimpinan
Solange, korban eksploitasi anak di Kongo/ Foto: Dok. ABC News/Esdras Tsongo |
Mirisnya, menjadi korban kemiskinan dan pekerja anak bukanlah kisah terburuk dari kehidupan Solange. Kecerdasannya, pendidikan yang relatif tinggi, serta kerja kerasnya, tidak mampu melindunginya.
Dia dicemburui oleh rekan kerjanya, dan akhirnya mengalami pelecehan. Ketika suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil setelah anak pertamanya lahir, tidak ada yang menjaganya. Saat itu usia Solange masih 15 tahun ketika pemimpin timnya memaksa untuk berhubungan seks.
"Dia mengatakan kepada saya jika saya tidak berhubungan seks dengannya, dia akan mengusir saya dari zona tambang," katanya.
Solange pun menolak. Karena ditolak, pemimpin tim tersebut membuat pekerjaannya menjadi lebih sulit. Ia ditugaskan berjalan kaki sejauh 10 kilometer setiap hari untuk menjual coltan di kota terdekat.
'Hukuman' tersebut membuat Solange kelelahan dan merasa terancam. Namun di satu sisi, ia tahu orangtuanya mengandalkan gajinya untuk membantu keluarganya bertahan hidup. Tak hanya itu, anaknya pun masih sangat kecil.
"Saya takut," katanya.
Eksploitasi pekerja anak di Kongo/ Foto: Getty Images/Lynsey Addario |
Karena mengalami tekanan yang begitu besar, Solange yang merasa terancam pun akhirnya menyetujui perintah atasannya. Ia pun akhirnya dipindah ke pekerjaan bergaji lebih tinggi dan tidak melibatkan fisik. Seminggu setelahnya, Solange dipromosikan menjadi pemimpin tim.
"Saya menghasilkan lebih banyak uang ketika pemimpin tim memberi saya kesempatan ini. Tapi saya seperti budak seks bos saya dan saya punya anak bersamanya," tutur Solange.
Solange mengatakan dia merasa tersiksa secara emosional oleh kesepakatan yang dibuatnya di bawah paksaan dan ancaman.
"Itu sulit. Hidup saya di tambang baik-baik saja, tetapi saya dilecehkan secara seksual oleh bos saya hampir setiap minggu," katanya. "Saya tidak bisa melepaskan pekerjaan itu karena saya membutuhkan uang untuk menghidupi anak-anak dan orang tua saya."
Banyak Pekerja Perempuan yang Bernasib Serupa
Eksploitasi pekerja anak di Kongo/ Foto: The Washington Post via Getty Im/The Washington Post |
Seiring berlalunya waktu, Solange mulai mempertanyakan keputusan yang dibuatnya. Akhirnya, ia pun meninggalkan hubungannya dengan pemimpin tim dan kembali bekerja di area pertambangan.
"Saya tidak lagi menerima banyak uang tetapi saya juga tidak perlu lagi menerima ajakan seksual bos saya," katanya.
Solange menangis ketika dia menjelaskan bahwa dengan upah hanya 21 USD (sekitar Rp315 ribu) seminggu, dia bekerja terus-menerus tanpa mendapatkan hari libur.
"Ini benar-benar kerja keras, tetapi di sini kami tidak memiliki pekerjaan lain yang dapat membayar kami dengan jumlah ini setiap hari. Saya harus tetap dalam pekerjaan ini," tuturnya.
Solange bukan satu-satunya perempuan yang pernah dilecehkan saat bekerja di tambang. Tetapi kebanyakan korban merasa malu, atau takut kehilangan pekerjaan, untuk angkat bicara dan membeberkan fakta yang sebenarnya terjadi.
Ilustrasi korban kekerasan seksual/ Foto: Getty Images/iStockphoto/dragana991 |
Dengan pendidikan yang terbatas, Solange percaya banyak teman perempuannya mengalami kesulitan memahami dan menjelaskan apa yang telah mereka lalui. Mereka pun akhirnya menyimpan penderitaan itu seorang diri.
"Saya tidak ingin mati bekerja di sini. Saya berharap suatu hari saya bisa memiliki bisnis sendiri. Tapi untuk saat ini saya harus menemukan cara untuk bertahan hidup di pertambangan ini," ungkap Solange.
Dilansir dari Reuters, bekerja sama dengan kelompok kampanye African Resources Watch (Afrewatch), organisasi Amnesty Internasional mengungkapkan bahwa jenama raksasa seperti Apple, Samsung, Microsoft, hingga Sony menggunakan baterai lithium untuk smartphone dari kobalt hasil eksploitasi anak-anak Kongo.
Sebagian besar pasokan kobalt berasal dari Kongo, di mana negara ini memiliki catatan yang panjang soal eksploitasi anak. Menurut situs resmi Amnesty International, lebih dari 40 ribu anak di Kongo harus memikul 20 hingga 40 kilogram hasil tambang kobalt setiap hari. Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh, dengan upah hanya 1-2 USD per hari (setara Rp15-30 ribu).
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
A child and a woman break rocks extracted from a cobalt mine at a copper quarry and cobalt pit in Lubumbashi on May 23, 2016. - The price of copper has fallen heavily, directly impacting workers in the town. (Photo by JUNIOR KANNAH / AFP) (Photo by JUNIOR KANNAH/AFP via Getty Images)/ Foto: AFP via Getty Images/JUNIOR KANNAH
Solange, korban eksploitasi anak di Kongo/ Foto: Dok. ABC News/Esdras Tsongo
Eksploitasi pekerja anak di Kongo/ Foto: Getty Images/Lynsey Addario
Eksploitasi pekerja anak di Kongo/ Foto: The Washington Post via Getty Im/The Washington Post
Ilustrasi korban kekerasan seksual/ Foto: Getty Images/iStockphoto/dragana991