Miris, Tiap 30 Detik Seorang Perempuan di Papua Nugini Dianiaya: Ketika Sebuah Negara Darurat Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan pada perempuan menjadi masalah serius di berbagai belahan dunia. Termasuk di negara tetangga Indonesia bagian timur, Papua Nugini. Bahkan, kasus kekerasan pada perempuan di negara itu sudah bisa dikatakan sebagai epidemik.
The Guardian menyebutkan bahwa setiap 30 detik, ada seorang perempuan di Papua Nugini yang dianiaya. Selain itu, tiap tahunnya ada lebih dari 1,5 juta perempuan yang mengalami kekerasan berdasarkan gender.
Jumlah kasus yang sangat banyak ini belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah Papua Nugini. Inilah satu hal yang sangat disayangkan. Beauties, simak ulasan di bawah ini untuk tahu informasi rinci mengenai kasus kekerasan pada perempuan di Papua Nugini.
Kasus Pembunuhan Perempuan Marak Terjadi
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan/Foto: Freepik |
Tahun 2021 lalu, ada sebuah kasus seorang perempuan berusia 31 tahun bernama Imelda Tupi Tiamanda yang diduga dibunuh oleh sang suami dan dua pria lainnya. Namun, ketiga terduga pelaku malah dibebaskan atas alasan tidak ada cukup bukti.
Padahal, ada bukti kuat dari penemuan pertama mayat sang korban yang ternyata ditemukan terbungkus terpal di bagasi kendaraan sang suami ketika melewati pos pemeriksaan polisi. Di dalam kendaraan tersebut juga ada dua terduga pelaku lainnya. Saat diinterogasi polisi, sang suami diduga mengakui kejahatannya.
Di tahun yang sama, di antara bulan Mei dan Juni, sekelompok pria melakukan kekerasan sedikitnya pada lima perempuan yang dituduh melakukan santet. Bahkan, satu orang perempuan terbunuh.
Ada Wacana untuk Pencegahan Kasus Namun Tak Ada Dukungan Pemerintah
![]() Ilustrasi: kekerasan pada perempuan/ Foto: istockphoto.com/asiandelight |
Komite parlemen khusus mengajukan wacana untuk melakukan penyelidikan terkait kekerasan berdasarkan gender yakni pada perempuan segala usia yang marak terjadi karena pandemi COVID-19.
Penyelidikan tersebut memiliki tujuan untuk bisa menemukan langkah-langkah konkret untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat Papua Nugini. Akan tetapi, Pemerintah Papua Nugini sama sekali tidak tertarik untuk memberikan dukungan, pendanaan, ataupun koordinasi secara penuh mengenai wacana ini.
Perbandingan Atas Jumlah Kasus dan Jumlah Kasus yang Diadili
![]() Ilustrasi: kekerasan pada perempuan/ Foto: pixabay.com/superlux91 |
Pada tahun 2020, kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) di Papua Nugini mencapai angka 15.444 kasus yang dilaporkan. Tetapi dari total kasus tersebut, hanya ada 250 orang yang diadili. Selain itu, hanya ada 100 orang yang divonis bersalah.
Dari kepolisian Papua Nugini memiliki alasan mereka sendiri kenapa perbandingan antara jumlah kasus dengan kasus yang diadili sangatlah besar. Disebutkan secara gamblang bahwa mereka tidak bisa menjaga keamanan perempuan dan anak-anak.
Selain itu, alasan lainnya adalah mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memastikan penyelidikan tentang kasus kekerasan perempuan berjalan secara menyeluruh.
Karena keterbatasan pemerintah dan kepolisian untuk mengatasi kasus kekerasan perempuan, pihak-pihak yang bekerja keras untuk melakukannya adalah para masyarakat sipil, gereja, dan relawan pembela HAM (hak asasi manusia).
Detail Rekomendasi Wacana dari Komite untuk Parlemen
![]() Ilustrasi: kasus kekerasan pada perempuan/ Foto: pexels.com/Anete Lusina |
Total ada 71 rekomendasi yang diajukan terkait wacana penyelidikan terkait kekerasan berdasarkan gender di Papua Nugini. Termasuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan akibat tuduhan santet.
Selain itu, mendanai layanan konseling tambahan pada korban dan perempuan lainnya, serta menyediakan sumber daya yang memadai kepada departemen kesehatan untuk menyediakan program KB (keluarga berencana) dan layanan kesehatan reproduksi.
Rekomendasi lainnya yang juga penting adalah melakukan perbaikan sistem peradilan untuk memastikan polisi bekerja lebih baik dalam melakukan penyelidikan kasus kekerasan berdasarkan gender, menuntut agar lebih tepat waktu, dan proses peradilan yang berpusat pada korban.
Beberapa perwakilan PBB dari Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa sudah mendiskusikan kerjasama terkait tujuan untuk mengakhiri kasus kekerasan pada perempuan di Papua Nugini.
Secara khusus, Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape mengatakan di sidang umum PBB kalau pemerintahnya sedang bekerja untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Namun, rencana pemerintah masih belum diketahui.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan/Foto: Freepik

