Pasal 'Pemaksaan Hubungan Seksual' Hilang dari RUU TPKS, Ini Konsekuensi yang Mengintai!
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ditargetkan selesai dibahas pada 5 April 2022. RUU TPKS sangat diharapkan masyarakat untuk menangani kasus kekerasan seksual. Namun, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendeteksi pasal 'pemaksaan hubungan seksual' hilang dari RUU TPKS.
"Yang dihapus di RUU dan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) adalah 'pemaksaan hubungan seksual' yang sebenarnya menjadi inti dari RUU TPKS untuk menjawab tindak pidana pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, kepada detikcom, Jumat (1/4).
Istilah 'pemaksaan hubungan seksual' seharusnya tetap dipertahankan, namun kini sudah tidak ada lagi dalam RUU TPKS. Pasalnya, istilah 'pemaksaan hubungan seksual' lebih luas ketimbang istilah 'pemerkosaan'.
Ilustrasi kekerasan seksual/Foto: Freepik.com/Wayhomestudio |
Siti mengungkapkan bahwa istilah 'pemaksaan hubungan seksual' sebelumnya ada di Pasal 4 dalam draf RUU TPKS per Agustus 2021. Kini, pasal tersebut hilang di RUU DPR per Januari, juga hilang dari DIM Pemerintah. Berikut adalah pasalnya, dikutip dari detikcom:
Pasal 4
Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Mengapa Istilah 'Pemaksaan Hubungan Seksual' Penting?
Ilustrasi kekerasan seksual/Foto: Pexels.com/rodnae-productions |
Komnas Perempuan mengusulkan agar pasal ini dimunculkan kembali dalam pembahasan RUU TPKS. Sebab, istilah 'pemaksaan hubungan seksual' begitu penting dan tidak boleh hilang dari RUU TPKS.
Menurut Komnas Perempuan, istilah itu perlu ada karena dapat mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak terakomodasi dalam istilah 'perkosaan' atau 'pemerkosaan'.
Komnas Perempuan mendapatkan alasan dibuangnya istilah 'pemaksaan hubungan seksual' dan dipakainya istilah 'perkosaan' lantaran penyusun undang-undang ingin mengakomodir konsep 'perkosaan' yang baru pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Namun tidak jelas betul, kapan RKUHP akan selesai digarap dan kemungkinan memang butuh waktu sangat lama.
"Karena ketidakjelasan kapan RKUHP disahkan, mengapa tidak diatur dalam RUU TPKS dan kemudian nanti dijadikan bagian RKUHP ketika dibahas?" gugat Siti Aminah Tardi.
Perbedaan 'Pemaksaan Hubungan Seksual' dan 'Perkosaan'
Ada beda pengertian antara istilah 'pemaksaan hubungan seksual' dengan 'perkosaan'. Istilah pertama dinilai lebih luas dibanding istilah kedua.
Istilah 'perkosaan' yang diatur di pasal 285 KUHP hanya meliputi penetrasi penis ke vagina. Maka perbuatan selain penetrasi penis ke vagina tidak digolongkan sebagai 'perkosaan', misalnya penetrasi penis ke anus, atau penetrasi bagian tubuh lain atau alat lain ke bagian tubuh lain tidak termasuk dalam kategori 'perkosaan'.
Perbuatan 'perkosaan' ini juga tidak mencakup kekerasan dengan ancaman psikis atau memanfaatkan kerentanan korban dalam relasi tidak setara.
Konsekuensi Hilangnya Istilah 'Pemaksaan Hubungan Seksual' dalam RUU TPKS
Ilustrasi kekerasan seksual/ Foto: Pexels/Karolina Grabowska |
Ada konsekuensi yang mengintai jika istilah 'pemaksaan hubungan seksual' tidak dimasukkan ke dalam RUU TPKS. Kemungkinan, kekerasan seksual selain pemaksaan penetrasi penis ke vagina akan mendapatkan hukuman lebih rendang ketimbang pemaksaan penetrasi penis ke vagina.
Dalam Pasal 285 KUHP saat ini, hukuman perkosaan adalah maksimal 12 tahun. Perbuatan pencabulan dipidana sembilan tahun sebagaimana diatur di Pasal 289 KUHP.
"Konsekuensinya, pemaksaan hubungan seksual dalam arti penetrasi non-penis (benda, tangan, dan lain-lain) ke vagina, anus, mulut, juga penetrasi penis ke anus tidak dipidana sebagai pemaksaan hubungan seksual, tapi sebagai pencabulan yang ancamannya lebih rendah," kata Siti Aminah.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
Ilustrasi kekerasan seksual/Foto: Freepik.com/Wayhomestudio
Ilustrasi kekerasan seksual/Foto: Pexels.com/rodnae-productions
Ilustrasi kekerasan seksual/ Foto: Pexels/Karolina Grabowska