Permohonan Praperadilan Delpedro dkk Ditolak, Amnesty International Indonesia: Bentuk Normalisasi Pembungkaman Aktivis

Nadya Quamila | Beautynesia
Selasa, 28 Oct 2025 17:00 WIB
Permohonan Praperadilan Delpedro dkk Ditolak, Amnesty International Indonesia: Bentuk Normalisasi Pembungkaman Aktivis
Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen/Foto: dok Lokataru Foundation

Beauties, apakah kamu masih ingat dengan kasus aktivis muda Delpedro Marhaen yang ditahan atas dugaan penghasutan massa untuk melakukan tindakan anarkis pada demonstrasi Agustus 2025? Kabar terbaru, praperadilan yang diajukan Delpedro ditolak oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Sebelumnya, Delpedro Marhaen bersama beberapa aktivis lainnya yang juga menjadi tersangka buntut aksi unjuk rasa mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya.

Hakim menilai prosedur polisi dalam menangkap dan menetapkan Delpedro sebagai tersangka kasus dugaan penghasutan adalah sah menurut hukum. Maka, polisi bisa melanjutkan penanganan perkara pokok Delpedro untuk disidangkan di pengadilan. Status tersangka Delpedro dan tiga aktivis lainnya tetap sah.

"Mengadili, satu, menolak permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya," ujar hakim tunggal Sulistiyanto Rochmad Budiharto saat membacakan amar putusan praperadilan nomor 132/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/10), dikutip dari detikcom.

Alasan Hakim Menolak Praperadilan Delpedro

Hakim menolak permohonan praperadilan Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen Rismansyah (Mulia/detikcom)

Hakim menolak permohonan praperadilan Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen RismansyahFoto: Mulia/detikcom

Alasan hakim menolak permohonan praperadilan Delpedro adalah karena Polda Metro Jaya menemukan bukti yang relevan di media sosial terkait kasus tersebut.

"Menimbang bahwa Termohon melakukan pemeriksaan terhadap para saksi, menemukan barang bukti terkait, berupa tangkapan layar dari media sosial yang relevant dengan perkara a quo yang dilakukan Termohon sejak tanggal 25 Agustus sampai dengan 29 Agustus 2025. Selanjutnya, Termohon melakukan gelar perkara pada tanggal 29 Agustus 2025 dengan kesimpulan meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan," kata Sulistiyanto, dilansir dari detikcom.

Selain itu, hakim mengatakan Polda Metro telah menyampaikan pemberitahuan penetapan tersangka dan penangkapan Delpedro ke pihak keluarganya. Hakim berpendapat penggeledahan terhadap Delpedro juga sudah memperoleh izin Pengadilan.

Rangkaian penyelidikan dan penyidikan terhadap Delpedro yang dilakukan Polda Metro, menurut hakim, dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Dua alat bukti yang dimiliki Polda Metro untuk menetapkan Delpedro sebagai tersangka, menurut hakim, adalah sah.

Sebagai informasi, Polda Metro Jaya menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan aksi demonstrasi berujung ricuh beberapa waktu lalu. Empat tersangka itu telah ditahan, yaitu Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen, aktivis Khariq Anwar, Muzaffar Salim, dan Syahdan Husein. 

Sebelum Delpedro, hakim Sulistyo Muhamad Dwi Putro lebih dulu menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar, dikutip dari CNN Indonesia.

Tanggapan Ibu Delpedro dan Amnesty International Indonesia

Keluarga Delpedro di ruang sidang PN Jaksel (Mulia/detikcom)

Keluarga Delpedro di ruang sidang PN Jaksel/Foto: Mulia/detikcom

Tangis ibunda Delpedro pecah usai keputusan hakim menolak praperadilan yang diajukan sang anak. Sembari terisak, Ibu Delpedro berulang kali mengatakan bahwa anaknya tidak bersalah.

"Anakku tidak bersalah. Kalian bisa bersantai di atas penderitaan anakku. Anakku nggak bersalah. Anakku bukan teroris, bukan pembunuh, bukan koruptor," ucap ibu Delpedro histeris, seperti yang terlihat dari video yang diunggah di 20Detik.

Amnesty International Indonesia (AII) mengatakan bahwa penolakan praperadilan Delpedro dkk merupakan bentuk normalisasi pembungkaman aktivis. 

“Hakim tunggal praperadilan di PN Jakarta Selatan kurang adil dalam menimbang bukti-bukti yang diajukan para tersangka. Hakim juga kurang memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Putusan ini dapat menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Hakim itu pengawas terakhir atas dugaan adanya proses hukum yang menyalahi asas peradilan yang adil," ungkap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dikutip dari siaran pers yang diunggah di situs AII.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) sebagai kuasa hukum para aktivis, membeberkan beberapa pelanggaran prosedur oleh kepolisian dalam menangkap dan menahan para aktivis tersebut. Di antaranya, penetapan tersangka oleh polisi tidak sah karena keempat aktivis itu tidak pernah diperiksa sebagai “calon tersangka,” sebagaimana merupakan syarat penetapan tersangka dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

Selain itu, menurut TAUD, hal tidak sah berikutnya adalah polisi melakukan penyitaan barang-barang milik para aktivis tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. TAUD juga mendapati tidak sahnya penangkapan para aktivis tersebut karena mereka sebelumnya belum pernah dipanggil atau diperiksa polisi.

"Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM. Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara," pungkas Usman.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE