STATIC BANNER
160x600
STATIC BANNER
160x600
BILLBOARD
970x250

Queen of the Month: Cerita Hannah Al Rashid Melawan Stigma Pekerja Perempuan di Industri Film

Nadya Quamila | Beautynesia
Kamis, 16 Jun 2022 13:30 WIB
Tantangan dan Stigma yang Dihadapi Pekerja Perempuan di Industri Film

Tantangan yang Dihadapi Pekerja Perempuan di Industri Film

Hannah mengungkapkan bahwa ada tantangan berlapis yang dihadapi oleh pekerja perempuan di industri film tempatnya berkecimpung selama ini. Selain pelecehan seksual, diskriminasi pun masih kerap terjadi, bahkan pernah ia alami.

“Diskriminasi masih ada sih dan gue pun mengalami. Contohnya, kalau misalnya gue ngomong sesuatu dan gue berusaha untuk assertive, dianggap diva, dianggap sulit diajak kerjasama, dianggap ribet,” ujarnya.

“Tapi kalau partner main gue yang pria ngomong hal yang sama, kayak ‘oh iya ya didengerin’ gue kayak, ‘I just said that!’,” keluhnya.

Hannah kemudian membatin dan bertanya-tanya, mengapa jika pendapat atau ide datang dari perempuan, sering kali dianggap terlalu emosional, ribet, dan sejenisnya. Namun mengapa jika dari pria, malah diterima dan dianggap hebat?

“Gender bias seperti itu masih terjadi,” tegasnya.

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

Tidak hanya itu, Hannah juga menyorot soal lingkungan di lokasi syuting yang kadang masih kurang ramah untuk perempuan. Ia menyinggung fasilitas kebersihan yang tersedia saat syuting.

“Aku beruntung banget sekarang masuk ke dalam produksi di mana line produsernya adalah perempuan. Jadi di saat syuting di lokasi yang sangat ribet, yang toilet segala macam sangat terbatas, air terbatas, tapi kalau aku bilang, “Mbak aku lagi haid, aku butuh ini’ dia paham. Dia akan langsung panggil crew, ‘ini nih galon bawa ke toilet’,” papar Hannah.

Jika tidak ada perempuan dalam posisi yang tinggi dalam sebuah produksi, fasilitas-fasilitas tersebut mungkin akan sulit didapat karena kurangnya pemahaman.

I think that is a thing we have to be aware, kalau emang perempuan kebutuhan khusus secara biologis seperti itu adalah sesuatu yang juga create a safe environment kan. Tempat ganti baju yang nyaman, itu juga penting. Bukan privilege atau special treatment menurut gue, tapi itu adalah sesuatu yang secara biologis, secara budaya yang memang berbeda. Jadi harus dijadiin faktor dalam cara kita bekerja atau cara kita menyediakan tempat kerja yang aman,” papar Hannah.

Stigma yang Dialami dan Pentingnya Support System

Jam kerja pada industri film cukup jauh berbeda dengan industri lainnya. Dalam sehari, pekerja kreatif di industri film bisa bekerja hingga 20 jam. Karena jam kerja ini, tak jarang para pekerjanya, terutama perempuan, mendapatkan stigma dari masyarakat.

“Pulang subuh setelah syuting, pas kita buka gembok pagar, mungkin dianggap kayak ‘perempuan nakal’ atau kayak perempuan nggak jelas. Padahal ya gue pulang dari kerja,” beber Hannah.

Bagi ibu yang bekerja di industri film, stigma yang diterima lebih berlapis.

“Belum lagi kalau ngomongin soal pekerja di industri perfilman yang sudah berkeluarga, yang sudah punya anak, cara mereka bisa menghandle segala stigma dari masyarakat yang menuntut ‘ah lo jauh dari anak lo’, ‘bad mother’ ‘you should be at home’, 'you should be ngurus ini itu',” ujar Hannah.

Menciptakan Ruang Kerja yang Aman dan Nyaman Bagi Pekerja

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

Hal pertama yang harus dilakukan untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman menurut Hannah adalah terus membuka ruang dialog untuk diskusi mengenai isu yang dihadapi pekerja perempuan.

We have to speak about it. Kita juga harus continuous conversation, tidak hanya dari korbannya tapi juga dari orang-orang di sekitar gitu. Supaya mereka aware, apa, sih, itu pelecehan seksual, cara kita bisa membantu korban, gimana sih? Cara kita bisa mencegah gimana? Those conversations harus ada dulu nih. Untuk kita tahu solusinya, kita harus tahu dulu masalahnya,” pungkas Hannah.

Akuntabilitas juga memegang peranan penting untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman.

“Karena tanpa adanya akuntabilitas, kita akan stuck dalam circle ini again and again. Kalau pelaku tetap bisa melakukan tanpa sanksi apapun, apa gunanya kita punya SOP yang lainnya kalau akuntabilitas kita tidak punya?” tegasnya.

Ia juga menambahkan, selama ini sebenarnya orang-orang yang berada di jajaran pimpinan tahu bahwa ada pelecehan terjadi di tempat kerja. Namun, sangat disayangkan, banyak yang lebih memilih untuk diam dan bungkam. Akhirnya, korban dan penyintas yang diberikan tanggungjawab untuk harus berani speak up jika ingin mendapatkan bantuan.

“Sebenarnya tanpa korban speak up, seharusnya kan dari leaders sudah bisa tahu masalahnya apa sih gitu, atau solusinya apa sih. We know it exists. Masalahnya adalah we know it exists, but we stay quiet. If you stay quiet, lo adalah enabler. Jadi tanpa korban mesti speak up, sebenernya bisa dilakukan sesuatu, tinggal lo mau do it or not,” tutup Hannah.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE