Resmi Disahkan, UU TPKS Memuat Pelecehan Seksual Non-Fisik, yuk Kenali Jenisnya!

Martatillah Nikita Karin | Beautynesia
Jumat, 22 Apr 2022 09:00 WIB
Resmi Disahkan, UU TPKS Memuat Pelecehan Seksual Non-Fisik, yuk Kenali Jenisnya!
Jika Kekerasan Fisik Bisa Jelas Terlihat, Lalu Apa Saja yang Tergolong Kekerasan Non-Fisik?/Foto: Freepik.com/wayhomestudio

Disahkannya UU TPKS pada 12 April 2022 lalu menjadi angin segar bagi warga Indonesia, khususnya kaum perempuan. Bagaimana tidak, perjalanan disahkannya RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini telah mengalami rangkaian perjalanan panjang hingga akhirnya resmi disahkan.

Kasus kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es, di mana kasus yang terlihat ternyata hanya sebatas fenomena yang terjadi di permukaan. Selebihnya, ternyata lebih mendalam dibanding itu, semakin lama ada banyak korban bermunculan.

Data dari catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa 95 persen di antaranya yang menjadi korban kekerasan seksual adalah perempuan. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pria juga bisa menjadi korban.

Kekerasan banyak terjadi di sekitar kita
Ilustrasi Kekerasan/foto: pexels.com/karolina-grabowska

Data lain menunjukkan bahwa kekerasan fisik memperoleh persentase tertinggi sebagai kasus kekerasan yang paling banyak dialami. Disusul kemudian kekerasan yang bersifat non-fisik seperti psikis, verbal hingga ekonomi.

Namun, yang sebenarnya terjadi adalah, kasus kekerasan fisik menjadi banyak jumlahnya akibat adanya jumlah laporan yang lebih banyak dibanding kasus kekerasan non-fisik. Lantas, hal apakah yang mendasari bahwa kekerasan non-fisik memiliki jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan kekerasan fisik?

Jumlah Kekerasan Fisik Lebih Banyak Dibandingkan dengan Non-Fisik

Mengapa kekerasan fisik lebih banyak dibandingkan dengan yang non-fisik?
Ilustrasi Kekerasan/foto: pexels.com/karolina-grabowska

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa 31 persen kekerasan terjadi secara fisik, disusul kemudian 30 persen yaitu kekerasan seksual, sisanya secara psikis sebanyak 28 persen dan ekonomi sebanyak 10 persen.

Penyebab utama mengapa kekerasan fisik lebih banyak jumlahnya ketimbang non-fisik karena jumlah aduan yang lebih banyak. Pelaporan kasus kekerasan fisik lebih mudah untuk terlihat dibanding dengan non-fisik. Bukti kekerasan fisik dapat terlihat jelas dari bekas luka seperti memar, lebam, maupun luka akibat benda tajam. Namun, tidak dengan kekerasan non-fisik.

Tidak menutup kemungkinan justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kurangnya bukti yang dimiliki dari korban kekerasan non-fisik akan semakin mengurungkan niat para korban untuk melapor. Padahal, ada banyak kekerasan non-fisik yang terjadi di sekitar kita seperti mental abuse, kekerasan verbal, hingga kekerasan secara ekonomi.

Bentuk Kekerasan Non-Fisik

Mengapa korban kekerasan non-fisik seringkali bungkam?
Ilustrasi Bungkam/foto: pexels.com/rodnae-productions

Kurangnya bukti yang dimiliki oleh korban pelecehan atau kekerasan secara non-fisik baik secara verbal, psikis (emosional) hingga ekonomi menjadikan para korban mengurungkan niat untuk melapor. Selain itu, dinamika psikologis yang dialami oleh korban juga menjadi penyebab mengapa korban kekerasan non-fisik menjadi enggan untuk melapor.

Timbulnya pemikiran seperti “mungkin semua ini karena salahku”, atau “dia sepantasnya berperilaku demikian karena aku yang menjadi penyebabnya” menjadikan korban enggan untuk bisa speak up. Apalagi jika kita bisa menilik bahwa sebagian besar pelaku kekerasan non-fisik seperti verbal, psikis hingga ekonomi memiliki sifat manipulatif yang dapat mempermainkan realita yang dialami korban hingga korban hanya bisa terjebak sebatas pemikiran-pemikiran dalam kepalanya.

Jenis-jenis perilaku yang mencerminkan bahwa seseorang mengalami kekerasan non-fisik di antaranya yaitu adanya perilaku dominan dari salah satu pihak yang bersifat mengontrol, merendahkan, mengintimidasi, menghina dan melecehkan baik secara verbal seperti ucapan maupun non verbal seperti sikap.

Adanya perilaku saling ketergantungan baik secara emosional maupun secara ekonomi yang menjadikan tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, perilaku posesif yang cenderung mengontrol hingga yang bersifat isolasi seperti menjauhkan dari teman-teman, keluarga maupun lingkungan sekitar yang jika dibiarkan secara terus menerus akan menjadi hal-hal yang lebih besar di kemudian hari.

Bantuan profesional sangat penting untuk mendampingi kondisi psikologis korban kekerasan
Ilustrasi Pemeriksaan Psikologis/foto: pexels.com/andrea-piacquadio

Meskipun cenderung adanya bukti yang kurang dibandingkan dengan kekerasan yang bersifat fisik, namun bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan. Korban tetap bisa melaporkan kekerasan yang dialami melalui kepolisian maupun lembaga yang menaungi korban kekerasan.

Penyidik akan menindaklanjuti aduan korban dan mengajukan untuk dilakukan visum et repertum secara psikologis kepada ahli profesional seperti psikiater atau psikolog. Setelah korban terbukti mengalami kekerasan secara non-fisik, nantinya hasil pemeriksaan tersebut akan menjadi alat bukti yang sah.

Meskipun tidak terlihat, namun bukan berarti hal tersebut tidak terjadi. Untuk itu, penting bagi siapapun untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitar untuk mengetahui apakah ada yang sedang mengalami kekerasan tersebut dan membutuhkan bantuan atau pendampingan untuk selanjutnya bersama-sama mencari jalan keluar dengan mendatangi profesional. Minimal, jika memang belum terbukti bahwa telah terjadi kekerasan, ada baiknya untuk tetap berpihak pada korban.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
CERITA YUK!
Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE