Kekerasan seksual menjadi salah satu polemik besar yang sering terjadi di sekitar kita. Tak main-main, dampak untuk sang korban pun begitu hebat dan tak bisa dianggap sepele. Bukan hanya menyerang psikis, tapi juga mental yang ikut rusak.
Mirisnya, perlindungan korban-korban kekerasan di Indonesia masih belum terlindungi. Bahkan pengesahan RUU PKS sejak 2019 lalu, makin alot. Definisi kekerasan seksual yang awalnya ada 15, dipangkas menjadi 9, dan terbaru hanya tinggal 4.
Tentu saja hal ini menjadi semakin tidak ramah dengan korban. Lalu apa sih langkah terbaik yang harus dilakukan jika ada teman, keluarga, atau bahkan masyarakat terdekat mengalami kekerasan seksual?
3 Langkah Utama Melindungi Korban Kekerasan Seksual
Menurut Jane L. Pietra, Psikolog Klinis Dewasa Yayasan Pulih, inilah 3 hal yang perlu dilakukan untuk dapat melindungi korban kekerasan seksual:
1. Tidak Menjadikannya Korban untuk Kedua Kali
Jane L. Pietra menuturkan, langkah pertama yang perlu dilakukan ketika orang terdekat mengalami kekerasan seksual adalah dengan tidak menjadikannya korban untuk kedua kali.
"Yang pertama harus dilakukan saat ada rekan kita mengalami kekerasan seksual adalah dengan tidak menjadikan ia korban untuk kedua kalinya. Maksudnya yaitu dengan tidak menyalahkan, menyudutkan, memojokkan, atau pun melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya membuat dia kembali mengalami trauma-trauma yang berulang. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak berpihak pada korban itu perlu dipahami, agar kita tidak membuat korban menjadi trauma kembali. Kita juga bisa melihat dampak-dampak dari hal tersebut," ujar Jane dalam Webinar edukasi bersama The Body Shop, Sabtu (28/8).
2. Tidak Menghakimi, dan Justru Menemani
Ia pun kembali mengatakan, sebagai orang terdekat kita perlu untuk memvalidasi apa yang dirasakan, jangan justru menyudutkannya kembali.
"Selanjutnya, tidak menghakimi. Kita perlu untuk mendengar, mempercayai, tidak menyalahkan cerita yang dia lontarkan., dan justru kita memvalidasi apa yang dia rasakan," katanya.
Sebagai seorang psikolog, ia pun kembali menambahkan, jika memang kita memiliki kemampuan dapat dengan menerapkan prinsip dasar psikologis. Tapi jika tidak, kita cukup menemani dan memberikannya banyak informasi.
"Ketika kita punya kemampuan untuk mendampingi misalnya, kita bisa terapkan prinsip-prinsip dasar atau dampingan psikologis awal. Kalau pun kita tidak bisa, kita bisa membantu untuk merujuk dan memberikan informasi. Tentunya kepada pihak-pihak yang relevan dan kita juga perku ingat untuk tidak memaksa mereka mencari pertolongan," tambahnya.
3. Tidak Memaksanya untuk Buru-buru Mengambil Tindakan
Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Kita tidak bisa memaksa seseorang yang sedang mengalami trauma berat untuk selalu mengikuti apa yang kita arahkan. Khawatir jika hal tersebut malah semakin membebaninya.
"Tapi perlu diingat, jika ini adalah proses yang kompleks bagi setiap individu, jadi kita tidak bisa memaksa mereka untuk 'ayo ayo kamu butuh banget nih pertolongan sekarang, ayo' itu tidak bisa. Kita tidak bisa memaksakan salah satu pihak," katanya.
Jane L. Pietra pun kembali menegaskan, jika yang akan menjalani proses adalah korban, sebagai support system tentu kita kita tidak bisa membantunya terlalu dalam.
"Sebagai support system, seorang yang membantu dan mendampingi, kita perlu ingat jika kita tidak bisa membantunya terlalu dalam. Yang akan menjalaninya dia, maka dari itu berikan ia waktu untuk memproses hal ini. Mungkin ia ingin diproses secara cepat atau malah menunda sampai semua dirasa siap,"
"Prosesnya itu tidak bisa paksakan atau kita dorong dia untuk melakukan secara cepat. Kita juga perlu ingat dengan risiko-risiko yang mungkin akan muncul. Misalnya saat kita yang kesal kita buru-buru mempublish pelaku. Niatnya ingin menghakimi pelaku justru kita tidak peka dengan dampak yang juga akan dirasakan oleh korban, seperti identitas terbongkar misalnya," tutupnya.