Pernahkah kamu menduga-duga sendiri tentang kondisi kesehatan mentalmu? Misalnya seperti,
“Duh, gue bisa depresi kalau begini terus,”
“Kayaknya gue kena obsessive compulsive disorder (OCD), deh, soalnya gue detail oriented banget!”
“Kalau lihat dari internet, penyebab gue sering panik tiap hari karena gue punya anxiety disorder,”
Hati-hati, bisa jadi kamu telah melakukan self diagnosis.
Self diagnosis ialah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri. Informasi tersebut bisa melalui teman, keluarga, internet atau pengalaman pribadi.
Menurut Highland Springs Clinic, saat ini ada lebih dari 200 bentuk penyakit mental yang dikenali. Saat seseorang yang kurang mendalami medis beralih mencari jawaban di internet, ia mungkin bisa terjebak pada risiko salah diagnosis. Padahal, informasi yang disebarkan itu ditujukan sebagai edukasi akan pentingnya menjaga kesehatan mental, bukan untuk mendiagnosis diri sendiri.
Sebenarnya, self diagnosis kesehatan mental tak sepenuhnya membawa pengaruh buruk. Justru, aksi tersebut menandakan kamu peka terhadap masalah psikologis pada dirimu. Eits, dengan catatan, kamu harus menindaklanjuti upaya self diagnosis dengan menghubungi profesional seperti psikolog atau psikiater.
Berikut sejumlah risiko melakukan self diagnosis tanpa mendapatkan pemeriksaan profesional. Simak yuk!
1. Self Diagnosis dari Internet Menambah Panik
Self diagnosis membuat panik/Foto: Pexels.com/Energepic |
Pada tahun 2008 Microsoft pernah melakukan studi berjudul “Cyberchondria: Studies of the Escalation of Medical Concerns in Web Search”. Istilah cyberchondria merujuk pada meningkatnya kecemasan yang tidak berdasar setelah melakukan self diagnosis lewat pencarian web.
Melakukan diagnosis diri hanya via internet dinilai buruk lantaran kata kunci dan algoritme pada mesin pencari seringkali menampilkan informasi tentang penyakit yang paling serius sebagai hasil teratas. Belum lagi, bisa saja sumbernya kurang terpercaya dan pembahasannya terlalu umum.
Kedua hal itu malah bisa membuat seseorang lebih panik dan stres tentang kemungkinan hasil terburuk.
2. Risiko Salah Diagnosis
Risiko misdiagnosis/Foto: Pexels.com/cottonbro |
Dokter mendiagnosis pasiennya berdasarkan analisis yang menyeluruh dan observasi mendalam.
Sebuah artikel yang dimuat dalam MentalHelp.net (American Addiction Centers) menyatakan bahwa jika kamu melakukan self diagnosis tanpa konsultasi ke psikolog atau psikiater, kamu berisiko melewatkan detail penting.
Boleh jadi, gejala yang kamu rasakan merupakan tanda dari penyakit mental atau penyakit fisik penyerta lainnya. Akibatnya, kamu berpotensi menyimpulkan diagnosis yang salah dan mengabaikan gangguan yang sebenarnya.
3. Menyangkal Masalah yang Dialami
Menampik masalah kesehatan yang dialami/Foto: Pexels.com/Anette Lusina |
Mengutip CNN Indonesia, alih-alih menyimpulkan hal terburuk saat melakukan diagnosis diri, orang-orang juga banyak yang memilih untuk menyangkal dan menganggap remeh gangguan kesehatan mental yang sedang dialami. Padahal, masalah kesehatan mental yang tidak segera ditangani dapat memperparah kondisinya.
4. Risiko Salah Perawatan
Risiko salah perawatan/Foto: Pexels.com/Anna Shvets |
Setiap masalah gangguan mental memiliki penanganan tersendiri. Ada yang bisa diatasi dengan terapi, ada juga yang membutuhkan obat-obatan tertentu. Ahli medis tentu akan memeriksa kondisimu secara menyeluruh untuk bisa diatasi dengan baik dan tepat.
Risiko self diagnosis selanjutnya yaitu seseorang bisa saja keliru menjalankan metode perawatan, sehingga hasilnya tidak efisien atau malah membahayakan kesehatan diri, contohnya seperti keracunan obat. Hal ini seperti yang dikutip dalam Dualdiagnosis.org.
5. Meragukan Kemampuan Profesional
Meragukan pendapat dokter/Foto: Pexels.com/Gustavo Fring |
Ada temuan menarik dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center’s Internet & American Life Project tahun 2013. Dari sepertiga orang yang melakukan diagnosis diri dari internet, hanya sekitar setengahnya yang melanjutkan konsultasi dengan dokter. Hal ini menunjukkan masih banyak orang yang merasa bisa tahu gejala yang dialami tanpa perlu lagi berkonsultasi ke ahli medis.
Kemudian, Psychology Today turut menyebutkan, terlalu sering menjalankan diagnosis diri dapat melemahkan peran dokter. Sebab, seseorang jadi lebih condong percaya internet, daripada pendapat para ahli.
_______________
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!