Beberapa waktu lalu sempat viral kasus konten kreator pria yang memplagiat pemikiran aktivis feminis Farida D. Farhan dengan kedok pro-feminisnya. Kenyataannya, ia mengabaikan hak Farida D untuk mengklaim kekayaan intelektualnya, mencuri tahun-tahun kontemplasi Farida D hanya demi pengakuan pribadi.
Bagi para feminis, Farhan begitu manipulatif karena mengaku pro-feminis tapi justru membungkam kebenaran yang datang dari mulut seorang intelektual perempuan. Meski Farhan merupakan contoh buruk pria dalam lingkungan feminisme, namun bukan berarti semua pria tidak bisa menjadi pro-feminis sejati. Nyatanya, sejak sebelum isu feminisme mencuat hingga saat ini, terdapat banyak tokoh pria yang berkontribusi nyata bagi kesetaraan gender.
Berikut ini adalah 3 diantaranya, pria pro-feminis yang berkontribusi bagi kemajuan perempuan dan kesetaraan gender.
Plato dan Emansipasi Perempuan dalam Politik
Plato/Foto: Onejourney.net |
Tokoh pro-feminis telah ada bahkan sejak masa Yunani Kuno, yakni filsuf klasik Plato. Dilansir dari laman jurnal Cambridge University Press, Plato tercatat telah merumuskan berbagai pemikiran revolusioner baik soal politik, sosial, budaya, maupun soal emansipasi perempuan.
Pada masa Yunani Kuno, perempuan memiliki peran yang terbatas pada urusan domestik saja. Negara yang pada saat itu telah menganut sistem demokratis ironisnya tidak membolehkan perempuan untuk memberikan hak suara politik.
Plato kemudian memunculkan kebijaksanaan kontroversial yang tertuang dalam dua buku terkenalnya, Politeia dan Nomoi. Plato beberapa kali menyebutkan bagaimana perempuan idealnya difungsikan di masyarakat. Khususnya di buku Nomoi, ia menyebut bahwa negara yang ideal adalah negara yang dipimpin oleh hukum atau konstitusi, di mana kesetaraan perempuan dan pria dalam bidang politik dan urusan publik perlu diterapkan.
Lebih lanjut dalam buku Nomoi, Plato mendorong terpenuhinya hak pendidikan terbaik untuk para perempuan setara dengan hak pria. Sedangkan dalam buku Politea, Plato menegaskan kembali bahwa peran perempuan tidak boleh terbatas pada peran-peran stereotipikal gender. Perempuan hendaknya mendapatkan pendidikan dan pelatihan terbaik untuk dapat melakukan tugas-tugas setara dengan kemampuan pria, bahkan dalam berperang sekalipun.
John Stuart Mill dan Advokasi Aspirasi Perempuan
John Stuart Mill/Foto: Hampton Think.org |
Selain dikenal dengan doktrin utilitarianismenya, John Stuart Mill juga dikenal dengan perjuangannya mengadvokasi aspirasi perempuan hingga berhasil mewujudkan adanya perwakilan perempuan dalam parlemen. Menurut laman ThoughtCo., istri John Stuart Mill yakni Harriet Taylor juga memiliki pengaruh besar sepanjang pembuatan karya-karya suaminya tentang hak asasi perempuan.
Dalam esai The Enfranchisement of Women, John mendorong agar perempuan diberi hak pilih yang sama seperti pria. Pada tahun 1861, John Stuart Mill bersama istrinya menerbitkan esai The Subjection of Women yang isinya menuntut kesetaraan sempurna bagi perempuan. Meski esai ini merupakan hasil pemikiran berdua, tidak banyak yang menganggap perkataan ini serius ketika nama Harriet Taylor masuk di dalamnya.
Dalam visi menembus Matilda effect dan menyebarluaskan pandangan esai ini seluas mungkin, Harriet berkenan membiarkan esai ini diatasnamakan suaminya. Lalu benar saja, setelah nama Harriet tidak tercantum, barulah orang-orang mulai menganggap serius peran perempuan untuk memaksimalkan kemajuan sosial.
Saat menjabat sebagai anggota parlemen pada tahun 1865-1868, John Stuart Mill tidak kehilangan minatnya untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan. Meninggalnya sang istri pada 1858 justru semakin memotivasinya untuk memperjuangkan mimpi Harriet akan kehidupan bernegara yang juga adil kepada perempuan. John Stuart Mill menjabat sebagai presiden Society for Women’s Suffrage pada tahun 1867 dengan berbagai agenda untuk terus mengupayakan kesetaraan bagi perempuan.
Mufasir KH Husein Muhammad dan Kontroversinya tentang Kedudukan Perempuan dalam Agama
KH Husein Muhammad/Foto: Instagram/santrimilenialid |
Dari dalam negeri terdapat pula tokoh pro-feminisme yang revolusioner sekaligus mengundang kontroversi di sebagian kalangan ulama. Menilik biografi yang tercantum dalam jurnal Research Gate yang berjudul Feminist Kyai, K.H Husein Muhammad: The Feminist Interpretation on Gender Verses and the Quran-Based Activism, KH Husein Muhammad merupakan seorang pemuka agama asal Cirebon yang mengkaji agama dari perspektif keadilan gender.
Bermula dari keresahannya tentang mitos dominasi pria atas pasangannya, KH Husein Muhammad tercengang setelah menggali kebenaran di balik kompleksitas persoalan perempuan. Total lebih dari 5 buku telah ia tulis yang mengkaji perspektif agama bernafaskan feminisme.
Sepak terjangnya sebagai sosok pro-feminis tidak perlu diragukan lagi. Pada tahun 2001, ia mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk isu-isu hak-hak perempuan, diantaranya Rahima, Fahmina Institute, dan Puan Amal Hayati. Tahun 2008, ia mendirikan Perguruan Tinggi Institut Studi Islam Fahmina di Cirebon. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai komisioner di Komnas Perempuan selama dua periode yakni tahun 2007-2009 dan 2009-2012.
Berkat dedikasinya di dunia kajian gender dan perempuan, KH Husein Muhammad mendapatkan berbagai penghargaan baik nasional maupun internasional. Bahkan, ia dijuluki sebagai “Kiai Feminis”.
Itu dia 3 pria pro-feminis yang berkontribusi dalam kesetaraan gender dan kemajuan perempuan. Tokoh pro-feminis siapa lagi yang kamu kenal, Beauties?
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!