Curhat di Medsos Dugaan Pelanggaran di Tempat Kerja Berujung Dijerat UU ITE, di Mana Keadilan yang Dijanjikan?
"Semua bisa kena" adalah kalimat yang sering muncul ketika membahas soal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Ya, beberapa 'pasal karet' yang termuat di UU ITE bisa menjerat siapa pun, mulai dari pekerja, konsumen, jurnalis, aktivis, akademisi, hingga ibu rumah tangga. Siapa pun bisa terjerat UU ITE tanpa pandang bulu.
UU ITE adalah peraturan hukum yang mengatur aspek-informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik. UU ITE pertama kali disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008.
UU ITE ini bertujuan untuk mengatur perlindungan berbagai kegiatan yang menggunakan internet, baik itu untuk mendapatkan informasi maupun melakukan transaksi. Namun, pada implementasinya, UU ITE justru berpotensi membatasi kebebasan berpendapat masyarakat akibat potensi ancaman dari pasal karet yang termuat di dalamnya.
Menurut laporan dari organisasi masyarakat sipil Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE sepanjang 2013 sampai 2021. Tak hanya itu, situs registrasi Mahkamah Agung juga menunjukkan sepanjang 2011 sampai 2018 terdapat 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE.
Mayoritas perkara berkaitan dengan pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan 28 ayat (2) mengenai ujaran kebencian. Pasal yang dinilai tafsirannya sangat subjektif, atau sering disebut pasal karet, berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat.
Bahkan, UU ITE bisa menjerat seseorang yang berusaha mengungkapkan kebenaran dan memperjuangkan haknya, misalnya seperti pekerja. Ada banyak kasus pekerja yang terjerat UU ITE saat mereka berusaha untuk menyuarakan kebenaran atau memperjuangkan haknya.
Seperti kasus yang baru-baru ini viral, seorang buruh perempuan bernama Septia Dwi Pertiwi ditetapkan sebagai tersangka usai curhat di medsos terkait dugaan pelanggaran kerja yang dialaminya di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan bisnis.
Septia dilaporkan ke pihak kepolisian oleh pemilik perusahaan dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat ( 3) dan atau Pasal 36 UU ITE. Dan Pasal 51 Ayat (2), Pasal 310 dan atau Pasal 311 KUHP.
Septia Curhat di Media Sosial
Ilustrasi/Foto: Freepik.com/jannoon028
Semua bermula ketika Septia menanggapi sebuah cuitan di X (sebelumnya Twitter) dari sebuah akun anonim @Askrlfess. Akun tersebut bertanya bagaimana pengalaman bekerja di perusahaan tempat Septia bekerja. Septia, sebagai mantan karyawan, mengaku bahwa ia mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan saat bekerja di sana.
Septia menyebut bahwa ada banyak dugaan pelanggaran hak pekerja yang dialami selama ia bekerja. Mulai dari pemotongan upah, upah di bawah UMR, jam kerja melebihi batas waktu, tidak adanya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, tidak mendapat slip gaji, bahkan tidak mendapat salinan kontrak, sebagaimana dilansir dari situs SAFEnet.
Septia juga melampirkan bukti tangkapan layar percakapan yang menunjukkan atasannya marah dan mengancam akan memotong gaji karena karyawan dinilai melakukan kesalahan dan tidak bekerja dengan baik.
Sementara itu, perusahaan buka suara terkait cuitan Septia di X. Perusahaan menjelaskan bahwa Septia telah mendapatkan gaji di atas UMR dengan bukti transfer yang jelas.
Usai menyuarakan pendapatnya di X, Septia dilaporkan ke kepolisian oleh perusahaan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pihak kepolisian sempat menggelar mediasi antara pelapor dan terlapor. Namun, berselang empat bulan kemudian, Septia ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya.
Penetapan itu dilakukan setelah mantan atasannya meminta ganti rugi sebesar Rp300 juta dan mewajibkan Septia untuk meminta maaf melalui media massa. Permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi Septia.
Selama pemeriksaan, Septia selalu bersikap kooperatif. Kasus terus berlanjut, hingga pada Agustus 2024, Septia ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Tim kuasa hukum Septia telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Berdasarkan sidang pada Kamis (19/9), penangguhan penahanan Septia dikabulkan dengan status tahanan kota hingga 1 Oktober 2024, sebagaimana dilansir dari laman Instagram Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PHBI).
Tim Kuasa Hukum Desak agar Septia Dibebaskan
Ilustrasi/Foto: Freepik
Menurut tim kuasa hukum Septia dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional, apa yang dilakukan Septia tidak melanggar UU ITE maupun KUHP. Mereka menilai bahwa kebebasan berekspresi dan berbicara mengenai hak-hak pekerja harus dilindungi, bukan malah dihukum.
Balasan terhadap cuitan di X yang dilakukan Septia merupakan bentuk kritik dan penilaian sebagai karyawan terhadap perusahaan tempatnya bekerja yang dinilai tidak pernah mendengar aspirasi dari karyawan dan tidak melaksanakan kewajiban terhadap karyawan.
Lebih lanjut, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin yang juga menjadi kuasa hukum Septia, mengkritisi dakwaan yang diberikan oleh JPU kepada Septia, melihat seluruh pasal yang digunakan adalah pasal dalam UU ITE tahun 2016 yang saat ini sudah tidak berlaku karena sudah direvisi.
Ia menjabarkan alasan mengapa Septia harus dibebaskan. Pertama, Septia didakwa dengan pasal yang tidak berlaku lagi di UU ITE. Seluruh UU ITE yang digunakan adalah UU (ITE) 2016 dan sekarang sudah versi 2024.
Kedua, pasal yang digunakan untuk penahanan Septia adalah Pasal 36 UU ITE 2016, di mana ancaman pidananya lebih dari 5 tahun tapi pasal itu sudah tidak berlaku di UU 2024 untuk pasal pencemaran nama baik.
“Sehingga, tidak ada alasan lagi pengadilan menahan Septia. Artinya, penahanan yang terus dilakukan adalah penahanan yang melanggar hak asasi manusia, melanggar hak-hak buruh, dan melanggar KUHAP,” tegas Ade, dikutip dari siaran pers yang diunggah SAFEnet.
Pelanggaran Hak Demokrasi Buruh
Ilustrasi/Foto: Freepik/Fabrikasimf
Apa yang dialami Septia, sayangnya, bukan pertama kali terjadi. Ada banyak pekerja di luar sana yang harus menghadapi dampak dari pasal karet UU ITE usai memperjuangkan haknya.
Menurut Ade, apa yang dialami Septia saat ini adalah bentuk pelanggaran hak demokrasi bagi buruh yang ingin menyuarakan praktik ketidakadilan yang dialami di tempat kerja.
Sependapat dengan Ade, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang diwakili oleh Dimas Satrio Wibowo mengatakan kasus ini memperlihatkan bentuk ketidakadilan yang mana pihak pelaporlah yang sebenarnya memiliki permasalahan hukum karena telah melanggar hak-hak buruh, namun, malah korban yang menjadi korban pasal karet UU ITE.
Kasus masih berlanjut, Septia menunggu keadilan dalam tahanan, dan tim kuasa hukum terus memperjuangkan keadilan.
Netizen di media sosial ramai berpendapat, alih-alih memberikan keadilan, kehadiran UU ITE justru bisa menjadi bumerang bagi mereka yang menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan haknya.
Bagaimana menurutmu, Beauties?
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!