Queen of the Month: Cerita Hannah Al Rashid Melawan Stigma Pekerja Perempuan di Industri Film

Nadya Quamila | Beautynesia
Kamis, 16 Jun 2022 13:30 WIB
Queen of the Month: Cerita Hannah Al Rashid Melawan Stigma Pekerja Perempuan di Industri Film
Hannah Al Rashid/Foto: Beautynesia

Beautynesia kembali meluncurkan program Queen of the Month. Setiap bulannya Beautynesia akan mengundang figur inspiratif yang berkaitan dengan isu atau tema yang diangkat. Pada bulan Juni 2022 ini, Women and Future Workforce menjadi tema besar yang kami angkat.

Beautynesia mendaulat Hannah Al Rashid, aktris, model, sekaligus aktivis yang vokal dalam menyuarakan hak-hak perempuan sebagai Queen of the Month bulan Juni 2022 ini. Partisipasinya di berbagai platform demi memperjuangkan kesetaraan gender membuatnya didapuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi penggerak SDG (Sustainable Development Goals) dalam bidang kesetaraan gender di Indonesia.

Di berbagai kesempatan, Hannah juga aktif menyuarakan soal kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang sayangnya masih kerap terjadi di Indonesia, tak terkecuali di industri film. Memperingati Hari Film Nasional tahun 2021 lalu, Hannah Al Rashid bersama beberapa aktor perempuan Indonesia lainnya membuat sebuah kampanye bernama #KawanPuan untuk membantu perempuan yang jadi korban kekerasan.

Tentang Kampanye #KawanPuan: Crowdfunding hingga Edukasi yang Hasilkan Solusi

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

#KawanPuan adalah sebuah gerakan solidaritas untuk membantu perempuan yang jadi korban kekerasan. Kampanye ini bekerjasama dengan berbagai NGO, LSM, dan organisasi apapun yang bergerak di advokasi dan pelayanan untuk korban kekerasan.

"Kawan Puan adalah salah satu passion project gue yang difasilitasi oleh Kita Bisa. Jadi Kawan Puan adalah campaign yang dibentuk khusus untuk membantu korban kekerasan. Tujuannya adalah untuk crowdfunding dan edukasi kepada publik dan untuk crowdfunding terutama untuk memberi bantuan hukum, medis, rumah aman, bantuan pemulihan juga, terapi, kepada korban kekerasan. So far bekerja sama dengan 13 LSM di seluruh Indonesia," ungkap Hannah Al Rashid kepada Beautynesia, Senin (6/6).

Tidak hanya donasi, kampanye #KawanPuan juga bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Hannah bersama Adinia Wirasti dan Mian Tiara, memutuskan untuk menulis menulis sebuah film pendek yang kemudian dijadikan film animasi untuk menggambarkan situasi di industri film saat ini.

"Kami menulis tentunya dari perspektif penyintas, dan kami berusaha untuk menawarkan solusi. Film itu emang terlahir dari keresahan kami sebagai penyintas, kok banyak orang tahu bahwa pelecehan adalah isu di dalam industri perfilman, tapi lebih banyak orang yang melumrahkan, atau diam aja, dan nggak pernah ada yang menawarkan solusi," papar perempuan kelahiran London itu.

Dampak Positif dari #KawanPuan: Production House Mulai Ciptakan SOP soal Pelecehan

Tidak hanya membuahkan hasil dalam bentuk donasi, kampanye #KawanPuan juga memiliki dampak positif lainnya, yakni makin banyak orang yang membicarakan isu pelecehan dan semakin banyak penyintas yang berani untuk melapor dan mendapatkan bantuan. Selain itu, banyak production house (PH) yang mulai mempraktekkan atau menciptakan SOP di dalam produksi mereka sendiri.

"Contohnya pasal pelecehan seksual itu udah mulai dipakai di dalam beberapa kontrak di beberapa PH. Sampai ada poster-poster gede yang ditaruh dalam lokasi syuting, seperti 'Bekerja dengan etis', 'anti pelecehan', 'anti bullying', itu semua ditaruh di dalam lokasi, ada beberapa PH yang sudah mulai melakukan itu," ungkap Hannah.

Dengan adanya kampanye #KawanPuan, menurut Hannah, membuktikan bahwa advokasi, melapor, speaking up, bisa menciptakan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.

Ketimpangan Relasi Kuasa Jadi Faktor Terjadinya Pelecehan di Tempat Kerja

Menurut Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan dari Komnas Perempuan, kekerasan di tempat kerja tahun 2020 berada di posisi ketiga dengan 64 kasus, baik yang dilakukan oleh atasan maupun sesama rekan kerja.

Di tempat kerja, umumnya pria dalam posisi lebih tinggi, tetapi posisi pria tidak hanya terbatas di bidang pekerjaan. Pria mempunyai kekuasaan dikarenakan masyarakat membentuknya demikian. Pelecehan seksual terjadi ketika pria menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.

Pelecehan seksual juga cukup marak terjadi di industri film, yakni di lokasi syuting. Menurut Hannah, pelecehan bisa terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa.

"Sebenarnya pelecehan bisa terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Dan ini applies tidak hanya untuk industri perfilman, tapi juga untuk industri apapun, untuk institusi pendidikan dan juga di ruang privat," ungkapnya.

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

Ketimpangan relasi kuasa adalah di mana ada seseorang yang memegang kuasa yang lebih dan menggunakan kuasa itu untuk memanipulasi dan menyakiti dan melecehkan orang yang dianggap lebih lemah.

Tidak hanya ketimpangan relasi kuasa, pelecehan di industri film juga terjadi karena tidak adanya SOP yang jelas untuk menangani masalah tersebut.

"Kalau di industri perfilman yang bisa kita identify adalah di saat ada ketimpangan relasi kuasa di-combine juga dengan tidak adanya SOP yang jelas untuk menangani masalah-masalah seperti ini.

Dan yang terjadi adalah banyak sekali kasus yang terjadi dan orang diam-diam aja dan korban harus dibebankan dengan segala rasa dan trauma yang dia alami tapi harus tetap menjalankan tugas dia di lokasi syuting, bertemu dengan abuser dia setiap hari dan ya intinya bekerja dalam situasi yang di mana lo ngerasa tidak didukung dan tidak dibantu," cetus Hannah.

Tantangan dan Stigma yang Dihadapi Pekerja Perempuan di Industri Film

Hannah Al Rashid

Foto: Beautynesia

Tantangan yang Dihadapi Pekerja Perempuan di Industri Film

Hannah mengungkapkan bahwa ada tantangan berlapis yang dihadapi oleh pekerja perempuan di industri film tempatnya berkecimpung selama ini. Selain pelecehan seksual, diskriminasi pun masih kerap terjadi, bahkan pernah ia alami.

“Diskriminasi masih ada sih dan gue pun mengalami. Contohnya, kalau misalnya gue ngomong sesuatu dan gue berusaha untuk assertive, dianggap diva, dianggap sulit diajak kerjasama, dianggap ribet,” ujarnya.

“Tapi kalau partner main gue yang pria ngomong hal yang sama, kayak ‘oh iya ya didengerin’ gue kayak, ‘I just said that!’,” keluhnya.

Hannah kemudian membatin dan bertanya-tanya, mengapa jika pendapat atau ide datang dari perempuan, sering kali dianggap terlalu emosional, ribet, dan sejenisnya. Namun mengapa jika dari pria, malah diterima dan dianggap hebat?

“Gender bias seperti itu masih terjadi,” tegasnya.

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

Tidak hanya itu, Hannah juga menyorot soal lingkungan di lokasi syuting yang kadang masih kurang ramah untuk perempuan. Ia menyinggung fasilitas kebersihan yang tersedia saat syuting.

“Aku beruntung banget sekarang masuk ke dalam produksi di mana line produsernya adalah perempuan. Jadi di saat syuting di lokasi yang sangat ribet, yang toilet segala macam sangat terbatas, air terbatas, tapi kalau aku bilang, “Mbak aku lagi haid, aku butuh ini’ dia paham. Dia akan langsung panggil crew, ‘ini nih galon bawa ke toilet’,” papar Hannah.

Jika tidak ada perempuan dalam posisi yang tinggi dalam sebuah produksi, fasilitas-fasilitas tersebut mungkin akan sulit didapat karena kurangnya pemahaman.

I think that is a thing we have to be aware, kalau emang perempuan kebutuhan khusus secara biologis seperti itu adalah sesuatu yang juga create a safe environment kan. Tempat ganti baju yang nyaman, itu juga penting. Bukan privilege atau special treatment menurut gue, tapi itu adalah sesuatu yang secara biologis, secara budaya yang memang berbeda. Jadi harus dijadiin faktor dalam cara kita bekerja atau cara kita menyediakan tempat kerja yang aman,” papar Hannah.

Stigma yang Dialami dan Pentingnya Support System

Jam kerja pada industri film cukup jauh berbeda dengan industri lainnya. Dalam sehari, pekerja kreatif di industri film bisa bekerja hingga 20 jam. Karena jam kerja ini, tak jarang para pekerjanya, terutama perempuan, mendapatkan stigma dari masyarakat.

“Pulang subuh setelah syuting, pas kita buka gembok pagar, mungkin dianggap kayak ‘perempuan nakal’ atau kayak perempuan nggak jelas. Padahal ya gue pulang dari kerja,” beber Hannah.

Bagi ibu yang bekerja di industri film, stigma yang diterima lebih berlapis.

“Belum lagi kalau ngomongin soal pekerja di industri perfilman yang sudah berkeluarga, yang sudah punya anak, cara mereka bisa menghandle segala stigma dari masyarakat yang menuntut ‘ah lo jauh dari anak lo’, ‘bad mother’ ‘you should be at home’, 'you should be ngurus ini itu',” ujar Hannah.

Menciptakan Ruang Kerja yang Aman dan Nyaman Bagi Pekerja

Hannah Al RashidHannah Al Rashid/ Foto: Beautynesia

Hal pertama yang harus dilakukan untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman menurut Hannah adalah terus membuka ruang dialog untuk diskusi mengenai isu yang dihadapi pekerja perempuan.

We have to speak about it. Kita juga harus continuous conversation, tidak hanya dari korbannya tapi juga dari orang-orang di sekitar gitu. Supaya mereka aware, apa, sih, itu pelecehan seksual, cara kita bisa membantu korban, gimana sih? Cara kita bisa mencegah gimana? Those conversations harus ada dulu nih. Untuk kita tahu solusinya, kita harus tahu dulu masalahnya,” pungkas Hannah.

Akuntabilitas juga memegang peranan penting untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman.

“Karena tanpa adanya akuntabilitas, kita akan stuck dalam circle ini again and again. Kalau pelaku tetap bisa melakukan tanpa sanksi apapun, apa gunanya kita punya SOP yang lainnya kalau akuntabilitas kita tidak punya?” tegasnya.

Ia juga menambahkan, selama ini sebenarnya orang-orang yang berada di jajaran pimpinan tahu bahwa ada pelecehan terjadi di tempat kerja. Namun, sangat disayangkan, banyak yang lebih memilih untuk diam dan bungkam. Akhirnya, korban dan penyintas yang diberikan tanggungjawab untuk harus berani speak up jika ingin mendapatkan bantuan.

“Sebenarnya tanpa korban speak up, seharusnya kan dari leaders sudah bisa tahu masalahnya apa sih gitu, atau solusinya apa sih. We know it exists. Masalahnya adalah we know it exists, but we stay quiet. If you stay quiet, lo adalah enabler. Jadi tanpa korban mesti speak up, sebenernya bisa dilakukan sesuatu, tinggal lo mau do it or not,” tutup Hannah.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE