Mengenal Tonic Immobility, Kondisi Kelumpuhan Sementara yang Dialami Korban Pelecehan Seksual

Camellia Ramadhani | Beautynesia
Senin, 07 Feb 2022 09:00 WIB
Mengenal Tonic Immobility, Kondisi Kelumpuhan Sementara yang Dialami Korban Pelecehan Seksual
Mengenal Tonic Immobility pada Korban Pelecehan Seksual/ Foto: Canva/ Julia M Cameron

Kasus pelecehan seksual di Indonesia dapat dibilang masih memprihatinkan. Tidak hanya soal proses peradilan yang lamban, stigma masyarakat yang memojokkan korban justru semakin membuat mereka tertekan.

Hal pertama yang menjadi pertanyaan kebanyakan orang saat terjadi pelecehan adalah “kenapa tidak melawan?”. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang tahu bahwa saat pelecehan terjadi, korban pasti mendapati reaksi syok sehingga tidak bisa bergerak. Kondisi ini dikenal dengan istilah tonic immobility.

Agar tidak memiliki persepsi yang salah tentang korban pelecehan seksual, simak penjelasan lebih lanjut tentang tonic immobility berikut ini!

Apa Itu Tonic Immobility?

Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Canva/cmicrogen
Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Canva/cmicrogen

Möller dan Helström mengungkap hasil penelitiannya bahwa setidaknya 70 persen dari 300 responden penyintas kekerasan seksual mengaku mengalami tonic immobility.

Dilansir dari laman Portland Psychotherapy, tonic immobility adalah kelumpuhan sementara pada seseorang saat menghadapi ancaman intens. Tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang bahwa diamnya korban adalah bentuk kesukarelaan, kelumpuhan ini sesungguhnya adalah reaksi alami tubuh dengan harapan menghindari serangan fatal yang lebih membahayakan.

Korban merasakan ketakutan luar biasa sehingga susah berbicara dan susah bergerak sehingga stimulasi apapun tidak akan bisa menggerakkan tubuhnya.

Apa yang Terjadi Saat Penyintas Alami Tonic Immobility?

Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Pexels/ C Technical
Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Pexels/ C Technical

Masyarakat terbelah menjadi dua dalam memandang bagaimana seharusnya seseorang merespon saat menghadapi bahaya dan ancaman, terutama dalam kasus pelecehan seksual. Kebanyakan berpendapat bahwa naluri alami seseorang saat didekati ancaman seharusnya bersikap agresif seperti melawan, berteriak, berlari, dan sebagainya. Namun, mitos ini dibantah oleh publikasi dari Maryland Coalition Against Sexual Assault (MCASA).

Menurut MCASA, secara ilmiah setiap orang pasti akan mengalami freeze atau kelumpuhan sementara ketika menghadapi bahaya meskipun hanya sepersekian detik. Setelah mengalami syok, korban secara naluriah akan mengambil tindakan antara tiga hal, yaitu melawan jika bahayanya dirasa dapat diatasi, lari ketika dia melihat peluang untuk melarikan diri, atau tetap membeku jika bahaya yang dialami sangat menghimpit.

Korban yang merespon dengan cara membeku didasari oleh respon alam bawah sadar bahwa melawan secara agresif justru akan meningkatkan rasa sakit dan penderitaan dan berakibat lebih fatal. Oleh karena itu, sistem tubuh secara otomatis tidak bisa bergerak.

Namun, sayangnya masyarakat masih sering menuduh bahwa korban sengaja diam atau menikmati kekerasan yang dialami. Tekanan sosial semacam ini kian menambah buruk kondisi mental korban.

Cara Memulihkan Korban dari Trauma

Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Pexels/ C Technical
Ilustrasi Tonic Immobility/ Foto: Pexels/ C Technical

Korban pelecehan seksual dapat menghasilkan trauma yang berbeda-beda pasca kejadian. Beberapa orang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam bentuk kelumpuhan kesadaran. Hal ini dikarenakan freeze yang dialami saat pelecehan masih terbawa meski kejadiannya telah berlalu.

Dalam kondisi ini, sesungguhnya alam bawah sadar korban merasa mereka belum bebas dari bahaya. Penyintas yang mengalami ini akan lebih susah pulih karena dia memisahkan dirinya dengan kesadarannya saat pelecehan itu terjadi.

Seorang terapis psikologi dari Amerika Serikat bernama Emma McAdam menjelaskan tentang cara keluar dari mode tonic immobility. Dalam video How to Turn Off the Freeze Response di channel YouTube Therapy in a Nutshell dikatakan bahwa tips ini bisa dilakukan siapapun. Baik penyintas maupun non penyintas, baik untuk terapi maupun berjaga-jaga.

Pelecehan Seksual di Metaverse/ Foto: Canva/dodidam10Ilustrasi korban pelecehan seksual/ Foto: Canva/dodidam10

Untuk penyintas, mereka harus mampu menghubungkan kembali antara badan dan pikiran. Hal ini dilakukan karena penyintas masih linglung dalam mode freeze sehingga kesulitan untuk meneruskan informasi yang didapat, apalagi meneruskannya menjadi respon.

Mereka bisa berlatih menggerakkan anggota badan dengan gerakan ringan yang sepenuhnya disadari. Ketika penyintas merasa memiliki kendali atas tubuhnya kembali, pemulihan bisa berjalan lebih cepat.

Sedangkan bagi orang yang tidak pernah mengalami trauma serupa, ada baiknya berjaga-jaga dengan melatih otak dan badan untuk sejalan. Berolahraga dikatakan dapat memperbaiki sistem refleks serta melatih otak untuk dapat berpikir lebih jernih ketika bahaya besar mengancam.

Selain itu, melatih diri dengan berani menolak melakukan hal-hal yang tidak nyaman juga merupakan kebiasaan penting yang harus diterapkan. Harapannya, sistem alam bawah sadar terbiasa cepat merespon perintah penolakan dan bereaksi melindungi diri.

Itulah penjelasan tentang tonic immobility serta tips ahli untuk keluar dari mode freeze dengan tujuan mempercepat pemulihan korban maupun untuk berjaga-jaga. Jika tidak mampu membantu penyintas untuk sembuh, minimal jangan berbuat sesuatu yang membuat mental korban semakin tertekan. Let's stop victim blaming!

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
CERITA YUK!
Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Theme of The Month :

Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.