Industri Mode Masih Gagal Capai Berkelanjutan, Ternyata Ini Penyebabnya
Beauties, coba bayangkan seberapa panjang proses yang harus ditempuh sepotong baju dari bahan mentah hingga masuk dalam lemarimu. Mulai dari pencarian dan pengambilan bahan baku diproses menjadi benang, dipintal menjadi kain, kemudian dipotong dan diolah menjadi pakaian, sampai didistribusikan di toko dan menarik perhatianmu untuk membelinya.
Rangkaian supply chain ini merupakan proses yang kompleks, belum lagi terkadang suplai kain diimpor dari negara lain––berapa banyak orang terlibat dan emisi karbon yang dihasilkan dari proses panjang tersebut?
Percakapan tentang sustainable fashion tidak pernah ada habisnya, Beauties! Industri mode menjadi salah satu sektor paling banyak merusak lingkungan, tidak hanya dari segi penumpukan limbah tekstil di pembuangan, tapi juga dari supply chain yang terdiri dari proses manufaktur, distribusi yang menghasilkan emisi karbon.
Industri raksasa kerap menunjukkan klaim perubahan menjadi lebih ramah lingkungan, tapi tidak dilanjuti dengan transparansi. Kenneth P.Pucker selaku mantan Chief Operating Officer dari label Timberland menjabarkan bagaimana industri fashion gagal dalam mencapai target keberlanjutan. Berikut rangkumannya.
Produksi Berlebihan
![]() Produksi pakaian berlebihan/ Foto: pexels.com/Artem Beliaikin |
Sepanjang pengalaman Kenneth sebagai eksekutif dalam industri fashion, lingkungannya selalu mementingkan strategi di mana keuntungan bisa ditingkatkan––bagaimana sebuah produk bisa bervariasi, lebih murah, dan lebih cepat produksi? Sistem yang diadopsi fast fashion inilah yang memiliki konsekuensi yang serius.
Berdasarkan data McKinsey & Co tahun 2016, Zara menghasilkan 24 koleksi pakaian per tahun, sedangkan H&M 12 hingga 16 koleksi. Di sisi lain, konsumen menyukai harga yang lebih murah dan variasi lebih banyak, tepat seperti yang ditawarkan oleh fast fashion ini. Alhasil, sisa pakaian yang tidak terjual dibiarkan menumpuk di pembuangan.
Jumlah Pakaian Tidak Mudah Terurai
![]() Pakaian tidak mudah terurai/ Foto: pexels.com/Mentatdgt |
Pakaian yang menumpuk di tempat pembuangan tidak cepat terurai oleh karena bahan kain yang tidak biodegradable, Beauties. Contohnya, polyester dan cotton yang mendominasi produksi kain global. Polyester menjadi bahan dengan jumlah produksi nomor satu. Ironisnya, polyester diambil dari sumber yang tidak dapat diperbaharui, membutuhkan banyak sekali energi dalam proses pembuatannya, dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan.
Kurangnya Transparansi
![]() Kurang transparansi/ Foto: pexels.com/Photomix Company |
Walaupun saat ini beberapa perusahaan telah mengeluarkan laporan CSR (Corporate Social Responsibility), belum ada bahasa dan kerangka laporan yang teregulasi. Selain itu, masih ada banyak brand yang tidak mengetahui atau berhubungan dekat dengan supplier-nya sehingga banyak laporan yang tidak menyertakan keseluruhan emisi karbon yang dihasilkan secara akurat.
Masalah Daur Ulang
![]() Masalah daur ulang/ Foto: pexels.com/Vie Studio |
Menjadikan produk dari bahan daur ulang tidak mudah, hanya 1% yang dapat didaur ulang menjadi pakaian baru. Ketidakmampuan mendesain dalam skala besar untuk berbagai variasi produk, keterbatasan teknologi daur ulang, keterbatasan infrastruktur, serta hasil daur ulang berupa serat pakaian berkualitas lebih rendah tapi membutuhkan harga lebih mahal merupakan beberapa penyebabnya.
Lalu, bagaimana dengan kotak daur ulang yang saat ini mulai tersedia di toko fast fashion? Dilansir dari Science Line, Jessica Schriber selaku Founder FabScrap, yaitu perusahaan bergerak di bidang daur ulang mode, menyebutkan pakaian yang masih bagus dijual di thrift shop dan sebagian besar pakaian donasi dikirimkan dan menumpuk di negara berkembang.
Bisnis Model Baru
![]() Bisnis model baru/ Foto: pexels.com/Ksenia Chernaya |
Usaha daur ulang, menjual baju preloved, rental baju, pemakaian kembali, dan perbaikan barang sudah diterapkan berbagai industri mode saat ini. Namun sayangnya, model bisnis tersebut masih belum cukup untuk memberikan dampak signifikan untuk bumi. Pada akhirnya, masih dibutuhkan usaha setiap individu untuk mengurangi konsumsi barang fashion, regulasi yang tegas dari pemerintah, dan laporan yang lebih kuantitatif dan akurat dari industri mode perlu diwajibkan.
Itulah sejumlah kendala mode berkelanjutan yang dihadapi industri fashion saat ini dilansir dari Harvard Business Review.
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!




