Bukan Karena Malas, Bos Buruk Bisa Jadi Alasan Karyawan Lakukan "Quiet Quitting"

Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Selasa, 18 Feb 2025 17:00 WIB
Bukan Karena Malas, Bos Buruk Bisa Jadi Alasan Karyawan Lakukan
Bukan Karena Malas, Bos Buruk Bisa Jadi Alasan Karyawan Lakukan Quiet Quitting/Foto: Freepik

Quiet quitting mengacu pada situasi di mana seorang karyawan hanya melakukan tugas sesuai deskripsi pekerjaan tanpa berinisiatif untuk mengambil tanggung jawab tambahan. Quiet quitting bukan berarti karyawan berhenti dari pekerjaan mereka secara fisik, melainkan secara emosional dan psikologis mereka mulai menarik diri dari upaya ekstra yang biasanya dilakukan di tempat kerja.

Penyebab quiet quitting biasanya dikaitkan dengan kemalasan karyawan, tetapi sebenarnya ini merupakan pendapat yang terlalu sederhana dan tidak mencerminkan kompleksitas di balik fenomena ini.

Ada berbagai alasan yang memengaruhi perilaku ini, salah satunya adalah memiliki bos buruk seperti yang dilansir dari Yahoo Finance berikut!

Sekilas tentang Quiet Quitting

Ilustrasi/Foto: Freepik/jcomp
Ilustrasi/Foto: Freepik/jcomp

Fenomena quiet quitting atau bekerja seminimal mungkin untuk memenuhi kontrak kerja makin banyak dibicarakan, terutama di kalangan pekerja muda di bawah usia 35 tahun. Istilah ini mencerminkan ketidakpuasan dan kurangnya keterlibatan mereka dalam pekerjaan.

Menurut laporan Gallup's State of the Global Workforce 2024 yang dilansir dari The Happiness Index, hanya 20 persen pekerja di dunia merasa terlibat dalam pekerjaan mereka. Laporan tentang tingkat stres di tempat kerja juga terbilang tinggi, dengan 43 persen karyawan melaporkan bahwa mereka merasa stres setiap hari.

Penyebab Quiet Quitting

Ilustrasi/Foto: Freepik/jcomp

Fenomena quiet quitting bukan disebabkan oleh kemalasan, melainkan sering kali menjadi respons alami terhadap lingkungan kerja toksik. Rachel Grace Elliott, seorang pelatih karier, menjelaskan bahwa quiet quitting biasanya terjadi ketika pekerja merasa usahanya tidak dihargai atau bahkan diperlakukan buruk. Dalam beberapa kasus, pekerja melihat kolega lain yang melakukan lebih sedikit usaha, tetapi mendapatkan penghargaan yang sama atau bahkan lebih.

Faktor lain yang memicu "quiet quitting" adalah ketidakseimbangan dalam perlakuan terhadap karyawan, seperti perbedaan kebijakan kerja dari rumah yang hanya berlaku untuk sebagian orang. Misalnya, seperti yang dilaporkan oleh survei dari Owl Labs yang menunjukkan bahwa 70 persen manajer di Inggris mengizinkan beberapa anggota tim bekerja di rumah meskipun kebijakan perusahaan melarangnya. Hal ini dapat menciptakan rasa ketidakadilan di tempat kerja.

Masalah ini juga diperparah oleh peningkatan beban kerja tanpa kenaikan gaji yang sebanding, terutama di tengah meningkatnya biaya hidup. Ketika pekerja merasa tidak dihargai atau hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai target perusahaan, motivasi mereka akan menurun. Hal ini tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan karena disengagement dapat menyebabkan penurunan produktivitas.

Cara Mengatasi Quiet Quitting

Ilustrasi/Foto: Freepik/KamranAydinov

Solusi untuk fenomena quiet quitting bukanlah dengan memaksa pekerja bekerja lebih keras, melainkan menciptakan budaya kerja yang mendukung dan menghargai mereka. Memberikan otonomi kepada karyawan, seperti fleksibilitas jam kerja atau pilihan untuk bekerja dari rumah, terbukti meningkatkan kesejahteraan karena mereka merasa dipercaya dan dihargai. Selain itu, mendukung pengembangan diri karyawan juga penting, misalnya melalui pelatihan atau pemberian proyek yang menantang.

Menurut penulis Daniel Pink, motivasi manusia sebagian besar bersifat intrinsik dan didorong oleh faktor-faktor seperti otonomi, penguasaan, dan tujuan. Dengan mendorong pekerja untuk menemukan motivasi internal mereka, keterlibatan dan produktivitas mereka akan meningkat secara alami. Untuk mendukung ini, perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang memberikan rasa kendali terhadap tugas dan tanggung jawab mereka agar mereka merasa lebih terlibat dan termotivasi alih-alih hanya merasa seperti mereka datang ke kantor hanya untuk menerima gaji atau imbalan lain.

Membangun budaya kerja yang inklusif, adil, dan mendukung akan memberikan manfaat jangka panjang, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Ketika pekerja merasa dihargai dan diberdayakan, mereka cenderung memberikan usaha terbaiknya tanpa merasa terpaksa.

***

Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!

(naq/naq)
Komentar
0 Komentar TULIS KOMENTAR
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.

RELATED ARTICLE